Belajar Sejarah Islam
Selamat datang dan terimakasih anda sudah mau berkunjung

Jumat, 29 Juni 2012

Sejarah Nabi Muhammad SAW

Muhammad bin Abdullāh (Arab: محمد بن عبد اللهdiucapkan [mʊħɑmmæd] (ca. 570/571 Mekkah[مَكَةَ ]/[ مَكَهْ ] – 8 Juni, 632 Medina) adalah pembawa ajaran Islam, dan diyakini oleh umat Muslim sebagai nabi dan (Rasul) yang terakhir. Menurut sirah (biografi) yang tercatat tentang Muhammad, ia disebutkan lahir sekitar 20 April 570/ 571, di Mekkah (Makkah) dan wafat pada 8 Juni 632 di Madinah pada usia 63 tahun. Kedua kota tersebut terletak di daerah Hejaz (Arab Saudi saat ini). Beliau haram digambarkan dalam bentuk patung ataupun gambar ilustrasi.
Michael H. Hart dalam bukunya The 100 menilai Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Menurut Hart, Muhammad adalah satu-satunya orang yang berhasil meraih keberhasilan luar biasa baik dalam hal spiritual maupun kemasyarakatan. Hart mencatat bahwa Muhammad mampu mengelola bangsa yang awalnya egoistis, barbar, terbelakang dan terpecah belah oleh sentimen kesukuan, menjadi bangsa yang maju dalam bidang ekonomi, kebudayaan dan kemiliteran dan bahkan sanggup mengalahkan pasukan Romawi yang saat itu merupakan kekuatan militer terdepan di dunia.
"Muhammad" secara bahasa berasal dari akar kata semitik 'H-M-D' yang dalam bahasa Arab berarti "dia yang terpuji". Selain itu di dalam salah satu ayat Al-Qur'an[7], Muhammad dipanggil dengan nama "Ahmad" (أحمد), yang dalam bahasa Arab juga berarti "terpuji".
Sebelum masa kenabian, Muhammad mendapatkan dua julukan dari suku Quraisy (suku terbesar di Mekkah yang juga suku dari Muhammad) yaitu Al-Amiin yang artinya "orang yang dapat dipercaya" dan As-Saadiq yang artinya "yang benar". Setelah masa kenabian para sahabatnya memanggilnya dengan gelar Rasul Allāh (رسول الله), kemudian menambahkan kalimat Shalallaahu 'Alayhi Wasallam (صلى الله عليه و سلم, yang berarti "semoga Allah memberi kebahagiaan dan keselamatan kepadanya"; sering disingkat "S.A.W" atau "SAW") setelah namanya.
Muhammad juga mendapatkan julukan Abu al-Qasim yang berarti "bapak Qasim", karena Muhammad pernah memiliki anak lelaki yang bernama Qasim, tetapi ia meninggal dunia sebelum mencapai usia dewasa.

Silsilah Muhammad dari kedua orang tuanya kembali ke Kilab bin Murrah bin Ka'b bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr (Quraish) bin Malik bin an-Nadr (Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma`ad bin Adnan.Adnan merupakan keturunan laki-laki ke tujuh dari Ismail bin Ibrahim, yaitu keturunan Sam bin Nuh. Muhammad lahir di hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun 571 Masehi (lebih dikenal sebagai Tahun Gajah).
Lebih lengkap silsilahnya dari Muhammad hingga Adam adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr (Quraisy) bin Malik bin Nadhr bin Kinanah bin Khuzayma bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan bin Udad bin al-Muqawwam bin Nahur bin Tayrah bin Ya'rub bin Yasyjub bin Nabit bin Ismail bin Ibrahim bin Tarih (Azar) bin Nahur bin Saru’ bin Ra’u bin Falikh bin Aybir bin Syalikh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh bin Lamikh bin Mutusyalikh bin Akhnukh bin Yarda bin Mahlil bin Qinan bin Yanish bin Syits bin Adam.
Nasab ini disebutkan oleh Muhammad bin Ishak bin Yasar al-Madani di salah satu riwayatnya. Nasab Rasulullah sampai Adnan disepakati oleh para ulama, sedangkan setelah Adnan terjadi perbedaan pendapat. Maksud dari Quraisy adalah putra Fihr bin Malik atau an-Nadhr bin Kinanah.

Para penulis sirah (biografi) Muhammad pada umumnya sepakat bahwa ia lahir pada Tahun Gajah, yaitu tahun 570 M, yang merupakan tahun gagalnya Abrahah menyerang Mekkah. Muhammad lahir di kota Mekkah, di bagian Selatan Jazirah Arab, suatu tempat yang ketika itu merupakan daerah paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni, maupun ilmu pengetahuan. Ayahnya, Abdullah meninggal dalam perjalanan dagang di Madinah, yang ketika itu bernama Yastrib, ketika Muhammad masih dalam kandungan. Ia meninggalkan harta lima ekor unta, sekawanan biri-biri dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman yang kemudian mengasuh Nabi.
Pada saat Muhammad berusia enam tahun, ibunya Aminah binti Wahab mengajaknya ke Yatsrib (sekarang Madinah) untuk mengunjungi keluarganya serta mengunjungi makam ayahnya. Namun dalam perjalanan pulang, ibunya jatuh sakit. Setelah beberapa hari, Aminah meninggal dunia di Abwa' yang terletak tidak jauh dari Yatsrib, dan dikuburkan di sana.Setelah ibunya meninggal, Muhammad dijaga oleh kakeknya, 'Abd al-Muththalib. Setelah kakeknya meninggal, ia dijaga oleh pamannya, Abu Thalib. Ketika inilah ia diminta menggembala kambing-kambingnya di sekitar Mekkah dan kerap menemani pamannya dalam urusan dagangnya ke negeri Syam (Suriah, Lebanon, dan Palestina).
Hampir semua ahli hadits dan sejarawan sepakat bahwa Muhammad lahir di bulan Rabiulawal, kendati mereka berbeda pendapat tentang tanggalnya. Di kalangan Syi'ah, sesuai dengan arahan para Imam yang merupakan keturunan langsung Muhammad, meyakini bahwa ia lahir pada hari Jumat, 17 Rabiulawal; sedangkan kalangan Sunni percaya bahwa ia lahir pada hari Senin, 12 Rabiulawal (2 Agustus 570 M).


KH TUBAGUS FALAK Penggerak Jihad Melawan Penjajah, Perintis NU di Bogor

KH Tubagus Muhammad Falak bin KH Tubagus Abbas adalah seorang kiai kharismatik yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren dan kemudian dikenal luas oleh kalangan masyarakat sebagai pemimpin rohani dalam gerakan sufi sebagai mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang mengambil ijazah langsung dari Syekh Abdul Karim Banten.

Beliau adalah tokoh agama yang dikenal pula karena keahliannya dalam ilmu kasyaf yang memiliki kedalaman ilmu agama dan memiliki keluhuran budi pekerti yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat luas.

KH Tubagus Muhammad Falak dilahirkan pada tahun 1842 di Sabi, Pandeglang Banten. Sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan agama Islam dari orang tuanya. Ayahnya KH. Tubagus Abbas adalah kiai pemimpin pesantren yang hidup dari hasil bertani dan sangat aktif dalam melakukan kegiatan dakwah dan syiar Islam di daerah Pandeglang dan sekitarnya bersama isterinya yaitu Ratu Quraisyn.

Secara garis kuturunan, KH Tubagus Muhammad Falak tidak saja berasal dari keturunan kiai pesantren, tetapi juga keturunan dari keluarga kesultanan Banten melalui ayah beliau, KH Tubagus Abbas. Silsilah keturunan beliau sarnpai kepada salah seorang dari sembilan wali yang memiliki putera bernama Sultan Maulana Hasanuddin Banten yaitu Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Kebangsawanan beliau diperkuat pula oleh garis keturunannya dari sang ibu yaitu Ratu Quraisyn yang masih merupakan keturunan Sultan Banten.

Dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga pesantren di Sabi, Pandeglang Banten menjadi awal yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup beliau. Suasana keagamaan serta bimbingan agama Islam yang diberikan oleh orangtuanya semasa kecil sangat mempengaruhi pembentukan karakter dan semangat KH. Tubagus Muhammad Falak untuk menuntut ilmu pengetahuan agama Islam serta mengamalkan ilmu tersebut demi kepentingan masyarakat luas.

Setelah selesai mempelajari beberapa kitab dalam bidang bahasa, fiqh dan terutama aqidah dari orangtuanya hingga usia 15 tahun, KH. Tubagus Muhammad Falak yang sejak kecil mempelajari Al-Quran dan tergolong cerdas dalam menyerap pengetahuan Islam serta pintar dalam menguasai ilmu beladiri ini pernah memperdalam pengetahuan agamanya di Cirebon dan beberapa ulama banten diantaranya Syekh Abdul Halim Kadu Peusing atas anjuran KH. Tubagus Abbas.

Di usia 15 tahun tepatnya pada tahun 1857, MH. Tubagus Muhammad Falak diberangkatkan oleh orangtuanya ke Mekah untuk menunaikan lbadah haji dan menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan agama di sana. Selama mukim di Mekkah beliau bertempat tinggal bersama salah seorang gurunya yang merupakan ulama besar lndonesia bernama Syekh Abdul Karim Banten sesuai dengan anjuran salah seorang gurunya selama di Banten yaitu Syekh Sohib Kadu Pinang.

Mula-mula KH. Tubagus Muhammad Falak belajar ilmu tafsir Quran dan fiqh kepada Syekh Nawawi Al-Bantany dan Syekh Mansur Al-Madany yang keduanya berasal dari Indonesia. Dalam bidang ilmu Hadist beliau belajar kepada Sayyid Amin Qutbi dan dalam ilmu tasawwuf beliau belajar kepada Sayyid Abdullah Jawawi. Sedangkan dalam ilmu falak beliau belajar kepada seorang ahli ilmu falak bernama Sayyid Affandi Turki.

Khusus dalam ilmu fiqh, beliau belajar kepada Sayyid Ahmad Habasy, dan Sayyid Umar Baarum. Setelah dewasa KH. Tubagus Muhammad Falak memperdalam ilmu hikmat dan ilmu tarekat kepada Syekh Umar Bajened, ulama dari Mekkah dan Syekh Abdul Karim dan Syekh Ahmad Jaha yang keduanya berasal dari Banten.

Di bidang fiqh beliau belajar pula kepada Syekh Abu Zahid dan Syekh Nawawi Al-Falimbany. Di samping nama-nama di atas, selama di Mekkah beliau juga menuntut ilmu di bawah bimbingan ulama-ulama besar lainnya antara lain: Syekh Ali Jabrah Mina, Syekh Abdul Fatah Al-Yamany. Syekh Abdul Rauf Al-Yamany. dan Sayyid Yahya Al-Yamany. Bahkan selama di Indonesia, baik sebelum pergi maupun pada saat kembali dari Mekkah, KH. Tubagus Muhammad Falak berguru dan memperdalam ilmu pengetahuan kepada beberapa ulama besar banten diantaranya Syekh Salman, Syekh Soleh Sonding. dan Syekh Sofyan.

Selama berada di Timur tengah, KH.Tubagas Muhammad Falak berkunjung ke Baghdad Irak dan sempat berguru kepada ulama Mekkah yang sedang berada di Baghdad yaitu Syekh Zaini Dahlan. Di sana beliau pernah berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Jailani. Sedangkan selama berada di Madinah beliau berziarah ke makam Nabi Besar Muhammad SAW. Selama mukim pertama di Mekkah dan Madinah, KH.Tubagus Muhammad Falak seangkatan dengan Syekh Kholil Bangkalan yang pada periode yang sama tepatnya sekitar tahun 1860-an menuntut ilmu di Mekkah.

Setelah periode mukim pertama di Mekkah selama kurang lebih 21 tahun lamanya, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Nusantara pada tahun 1878.

Dalam konteks pergerakan kebangsaan melawan penguasa kolonial, dalam salah satu keterangan disebutkan bahwa KH Tubagus Muhammad falak menjadi salah satu kiai Banten yang turut aktif dalam pemberontakan petani banten 1888 yang dimotori oleh para kiai tarekat, diantaranya Syekh Abdul Karim, KH. Asnawi Caringin, KH. Tubagus Wasid dan KH.Tubagus lsmail. Akibat aktifitas politik tersebut beliau menjadi salah seorang yang menjadi sasaran untuk ditangkap oleh Belanda. Periode tersebut bertepatan dengan periode kepulangan beliau dari timur tengah ke Nusantara.

Pada tahun 1892, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan kembali memperdalam ilmu di sana hingga menjelang awaI abad ke-20 dan mengalami masa kebersamaan dalam kurun waktu yang sama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, kedua tokoh agama pendiri dua organisasi besar di Nusantara yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Selama berada di Mekkah dan Madinah pada periode pertama dan kedua, beliau sangat dikenal oleh para ulama baik seangkatan maupun angkatan yang lebih muda khususnya yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara yang sedang menuntut dan memperdalam ilmu di sana.

Kemudian pada awal abad 20 setelah kepulangannya dari Timur Tengah, KH. Tubagus Muhammad Falak memulai aktivitas pendirian pesantren setelah melalui masa perintisan yang cukup panjang baik setelah melalui aktivitas dakwah dan syiar Islam sejak dari Pandeglang hingga ke pelosok-pelosok di daerah bogor dan sekitarnya maupun setelah merintis pengajian di daerah Pagentongan.

Pendirian Pesantren Al-Falak di Pagentongan Bogor oleh KH. Tubagus Muhammad Falak merupakan perwujudan akhlak yang ditunjukan oleh beliau sebagai seorang ulama yang telah mengalami perjalanan intelektual dan spiritual yang panjang di Timur Tengah untuk memberikan pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat serta mernberikan penerangan-penerangan bagi umat dalam hal keislaman. begitu banyak kalangan yang datang kepada beliau untuk menjadikan dirinya sebagai guru yang dipandang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu pengetahuan agama Islam.

Dan begitu banyak pula para santri yang telah mendapatkan bimbingan beliau menjadi kiai, tokoh agama yang merupakan pendiri dan pemimpin pondok pesantren dan majelis ta`lim serta guru-guru agama Islam yang tersebar di berbagai pelosok di Indonesia dan mancanegara. bahkan banyak pula para santri beliau yang telah menjadi birokrat dan politisi di Indonesia.

Khusus dalam konteks pergerakan, aktifitas KH. Tubagus Muhammad Falak dalam gerakan kebangsaan semakin terlihat mantap ketika beliau semakin banyak berinteraksi dengan para tokoh pergerakan nasional dari berbagai kalangan diantaranya H.O.S Cokroaminoto, Ir. Soekarno, dan berbagai tokoh pergerakan nasional lainnya. kemudian pada masa sebelum dan masa revolusi fisik 1945-1949, KH. Tubagus Muhammad Falak telah tercatat sebagai salah searang ulama besar Indonesia yang menjadi tokoh Spiritual dalam bidang kerohanian di laskar Hizbullah yang pelatihannya berpusat di daerah Cibarusa dan pemimpin spiritual di Bogor yang senantiasa membangkitkan semangat Jihad fii Sabilillah melawan penjajah untuk membela dan mempertahankan republik Indonesia. Pada masa-masa kritis beliau banyak didatangi oleh banyak masyarakat dari kalangan sipil dan militer untuk meminta keberkahan atas karomah yang diyakini di miliki oleh beliau.

Pada tahun 1953, KH Tubagus Muhammad Falak mendirikan Nahdlatul Ulama di Bogor dan pada saat pembentukan dihadiri langsung oleh KH Wahid Hasyim. Adapun salah seorang cucunya yakni KH Soleh Tohor Falak pernah menjadi salah Ketua Tanfidziyah NU Bogor

Adapun gelar falak yang selama hidupnya melekat pada beliau rnerupakan gelar yang diberikan oleh gurunya yang bernama Sayyid Affandi Turki oleh karena kecerdasan dan keahlian beliau dalam menguasai ilmu hisab dan ilmu falak yang diajarkan oleh gurunya tersebut. Beliau yang dikenal di Mekkah dengan sebutan Sayyid Syekh Muhammad Falak ini selama hidupnya memiliki hubungan interaksi yang amat luas dan memiliki kedekatan dengan ulama-ulama besar di dalam dan luar Nusantara yang sebagian besar pernah berkunjung kepada beliau di Pagentongan antara lain: Syekh Abdul Halim Palembang, Syekh Abdul Manan Palembang, Syekh Abdul Qodir Mandailing, Syeikh Ahmad Ambon, Syekh Daud Malaysia, Tuan Guru Zainuddin Lombok, Guru Zaini Ghoni Martapura, Habib Soleh Tanggul Jawa Timur, Habib Umar Alatas, Habib Idrus Pekalongan, Habib Ali Al-Habsy Kwitang, Habib Abu Bakar Kwitang dan para habaib dan kiai dari berbagai daerah lainnya di Nusantara.

Ayahandanya KH. Tubagus Abas dikenal sebagai seorang ulama besar di Banten. Ia sebagai pendiri dan pemimpin pondok pesantren Sabi, hampir separuh usianya dihabiskan untuk mendidik santri-santrinya. Dari beliaulah pertama kali KH. Falak mendapat pendidikan dalam bidang baca tulis Al Qur’an, Sufi dan terutama pemantapan Aqidah Islam, bahkan karena cintanya kepada ilmu, di usianya yang masih muda, KH Falak sempat mengembara selama 15 tahun untuk menggali dan menuntut ilmu ke beberapa ulama besar yang ada di daerah Banten dan Cirebon.

Selama di Mekah KH. Falak tinggal bersama Syekh Abdul Karim, dari Syeh Abdul Karim hingga akhirnya mendapatkan kedalaman ilmu tarekat dan tasawuf, bahkan oleh Syekh Abdul Karim yang dikenal sebagai seorang Wali Agung dan ulama besar dari tanah Banten yang menetap di Mekah itu. KH. Falak dibai’at hingga mendapat kepercayaan sebagai mursyid (guru besar) Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.

Pada tahun 1878. KH Falak kembali ketanah air. Selama beberapa pekan K.H. Falak tinggal di tempat kelahirannya Pandeglang Banten dan mendapat kepercayaan untuk memimpin pesantren Sabi yang ditinggalkan oleh ayahnya.

Tetapi seperti pada umumnya perjalanan seorang mubalighin, aktivitas da’wah dan tablignya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam tidak akan terhenti sampai disana demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh KH Falak, sebagai wujud untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmunya, sejak tahun itu juga beliau mulai melancarkan aktivitas tablig dan da’wah secara estafet. Dimulai dari daerah Pandeglang, Banten hingga sampai ke Pagentongan Bogor dan bermukim disana hingga wafatnya.

KH Tubagus Muhammad Falak wafat pada waktu subuh pukul 04.15 hari Rabu tanggal 19 Juli 1972 atau tanggal 8 Djumadil Akhir 1392 H di usianya yang ke, 130 tahun di Pagentongan, Bogor.


Akhsan Ustadhi
Sekretaris PCNU Kabupaten Bogor
*Biografi ini diperoleh dari para anak dan cucu KH Tubagus Falak di Pondok Pesantren Al-Falak Pagentongan dalam acara Haul beliau, 5 Mei 2012.

Tahlilan Yasinan itu Haram?

Judul : Benarkah Tahlilan & Kenduri Haram?
Penulis : Muhammad Idrus Romli
Editor: Achmad Ma’ruf Asrori
Penerbit: Khalista, Surabaya
Cetakan: I, 2012Tebal: v + 82 hlm.
Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan



Buku kecil “Bernarkah Tahlilan dan Kenduri Haram”, yang sederhana ini ditulis oleh salah seorang anak muda NU dan sangat produktif menulis berasal dari Jember. Kehadiran buku ini dilatar belakangi saat penulis mengisi acara daurah pemantapan Ahlussunnah Waljama’ah di salah satu Pesantren di Yogyakarta. Ketika sampai dalam sesi tanya jawab, ada salah seorang peserta mengajukan pertanyaan kepada penulis tentang hukum selamatan kematian, tahlilan dan yasinan. Selain itu penaya juga memberikan selebaran Manhaj Salaf, setebal 14 halaman dengan kumpulan artikel berjudul “Imam Syafi’i Mengharamkan Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan”.

Tradisi tahlilan, yasinan, dan tradisi memperingati 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari orang yang meninggal dunia adalah tradisi yang telah mengakar di tengah-tengah masyarakat kita khususnya di kalangan warga nahdliyin. Dan tradisi tersebut mulai dilestarikan sejak para sahabat hingga saat ini, di pesantrenpun tahlilan, yasinan merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap hari setelah shalat subuh oleh para santri. Sehingga tahlilan, yasinan merupakan budaya yang tak pernah hilang yang senantiasa selalu dilestarikan dan terus dijaga eksistensinya.

Seiring dengan lahirnya aliran-aliran baru seperti aliran wahabi atau aliran salafi yang telah diceritakan oleh penulis, tradisi tahlilan dan yasinan hanyalah dianggap sebatas budaya nenek moyang yang pelaksanaannya tidak berdasarkan dalil-dalil hadits atau al-Qur’an yang mendasarinya. Sehingga aliran Wahabi dan Aliran Salafi menolak terhadap pelaksanaan tradisi tersebut, bahkan mereka menganggapnya perbuatan yang diharamkam.

Tahlilan, yasinan  merupakan tradisi yang telah di anjurkan bahkan disunnahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Yang di dalamnya membaca serangkaian ayat-ayat al-Qur’an, dan kalimah-kalimah tahmid, takbir, shalawat yang di awali dengan membaca al-Fatihah dengan meniatkan pahalanya untuk para arwah yang dimaksudkan oleh pembaca atau yang punyak hajat, dan kemudian ditutup dengan do’a. Inti dari bacaan tersebut ditujukan pada para arwah untuk dimohonkan ampun kepada Allah, atas dosa-dosa arwah tersebut.

Seringkali penolakan pelaksanaan tahlilan, yasinan, dikarenakan bahwa pahala yang ditujukan pada arwah tidak akan menolong terhadap orang yang meninggal. Padahal telah seringkali perdebatan mengenai pelaksanaan tahlil di gelar, namun tetap saja ada pihak-pihak yang tidak menerima terhadap adanya tradisi tahlil dan menganggap bahwa tahlilan, yasinan adalah perbuatan bid’ah.

Para ulama sepakat untuk terus memelihara pelaksanaan tradisi tahlil tersebut berdasarkan dalil-dalil Hadits, al-Qur’an, serta kitab-kitab klasik yang menguatkannya. Dan tak sedikit manfaat yang dirasakan dalam pelaksanaan tahlil tersebut. Diantaranya adalah, sebagai ikhtiyar (usaha) bertaubat kepada Allah untuk diri sendiri dan saudara yang telah meninggal, mengikat tali persaudaraan antara yang hidup maupun yang telah meninggal, mengingat bahwa setelah kehidupan selalu ada kematian, mengisi rohani, serta media yang efektif untuk dakwah Islamiyah.

Buku ini menguraikan secara rinci tentang hukum kenduri kematian, tahlilan, yasinan, dan menjelaskan khilafiyah ulama salaf memberikan makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziah. Karena dikalangan ulama salaf masih memperselisihkan bahwa, memberikan makanan kepada orang-orang yang berta’ziah, ada yang mengatakan makruh, mubah, dan sunnah. Namun dikalangan ulama salaf sendiri tidak ada yang berpendapat tahlilan, yasinan merupakan perbuatan yang diharamkan. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh hijriah (hal. 13).

Menghadiahkan amal kepada orang yang telah meninggal dunia maupun kepada orang yang masih hidup adalah dengan media do’a, seperti tahlilan, yasinan, dan amalan-amalan yang lainnya. Karena do’a pahalanya jelas bermanfaat kepada orang yang sudah meninggal dan juga kepada orang yang masih hidup. Seorang pengikut madzhab Hambali dan murid terbesar Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qoyyim al-Jauziyah menegaskan pendapatnya, seutama-utama amal yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal adalah sedekah.

Adapun membaca al-Qur’an, tahlil, tahmid, takbir, dan shalawat dengan tujuan dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia secara sukarela, ikhlas tanpa imbalan upah, maka hal yang demikian sampailah pahala itu kepadanya. Karena orang yang mengerjakan amalan yang baik atas dasar iman dan ikhlas telah dijanjikan oleh Allah akan mendapatkan pahala. Artinya, pahala itu menjadi miliknya. Jika meniatkan amalan itu untuk orang lain, maka orang lain itulah yang menerima pahalanya, misalnya menghajikan, bersedekah atas nama orang tua dan lain sebagainya.

Dengan demikian, buku ini layak dibaca oleh semua kalangan manapun baik yang pro maupun yang kontra terhadap adanya tradisi tahlilan dan yasinan. Agar supaya tradisi tahlilan dan yasinan yang sudah akrab ditengah-tengah masyarakat tidak lagi terus dipertanyakan mengenai kekuatan dalilnya. Sehingga agar tumbuh saling pengertian dan membangun solidaritas antar sesama muslim. Membaca buku kecil dan sederhana ini, pembaca akan mengetahui secara jelas terhadap dalil-dalil bacaan tahlilan, yasinan yang selama ini dikatakan haram dan perbuatan bid’ah. Wallahu a’lam

* Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi

KH TUBAGUS FALAK Penggerak Jihad Melawan Penjajah, Perintis NU di Bogor

KH Tubagus Muhammad Falak bin KH Tubagus Abbas adalah seorang kiai kharismatik yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren dan kemudian dikenal luas oleh kalangan masyarakat sebagai pemimpin rohani dalam gerakan sufi sebagai mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang mengambil ijazah langsung dari Syekh Abdul Karim Banten.

Beliau adalah tokoh agama yang dikenal pula karena keahliannya dalam ilmu kasyaf yang memiliki kedalaman ilmu agama dan memiliki keluhuran budi pekerti yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat luas.

KH Tubagus Muhammad Falak dilahirkan pada tahun 1842 di Sabi, Pandeglang Banten. Sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan agama Islam dari orang tuanya. Ayahnya KH. Tubagus Abbas adalah kiai pemimpin pesantren yang hidup dari hasil bertani dan sangat aktif dalam melakukan kegiatan dakwah dan syiar Islam di daerah Pandeglang dan sekitarnya bersama isterinya yaitu Ratu Quraisyn.

Secara garis kuturunan, KH Tubagus Muhammad Falak tidak saja berasal dari keturunan kiai pesantren, tetapi juga keturunan dari keluarga kesultanan Banten melalui ayah beliau, KH Tubagus Abbas. Silsilah keturunan beliau sarnpai kepada salah seorang dari sembilan wali yang memiliki putera bernama Sultan Maulana Hasanuddin Banten yaitu Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Kebangsawanan beliau diperkuat pula oleh garis keturunannya dari sang ibu yaitu Ratu Quraisyn yang masih merupakan keturunan Sultan Banten.

Dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga pesantren di Sabi, Pandeglang Banten menjadi awal yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup beliau. Suasana keagamaan serta bimbingan agama Islam yang diberikan oleh orangtuanya semasa kecil sangat mempengaruhi pembentukan karakter dan semangat KH. Tubagus Muhammad Falak untuk menuntut ilmu pengetahuan agama Islam serta mengamalkan ilmu tersebut demi kepentingan masyarakat luas.

Setelah selesai mempelajari beberapa kitab dalam bidang bahasa, fiqh dan terutama aqidah dari orangtuanya hingga usia 15 tahun, KH. Tubagus Muhammad Falak yang sejak kecil mempelajari Al-Quran dan tergolong cerdas dalam menyerap pengetahuan Islam serta pintar dalam menguasai ilmu beladiri ini pernah memperdalam pengetahuan agamanya di Cirebon dan beberapa ulama banten diantaranya Syekh Abdul Halim Kadu Peusing atas anjuran KH. Tubagus Abbas.

Di usia 15 tahun tepatnya pada tahun 1857, MH. Tubagus Muhammad Falak diberangkatkan oleh orangtuanya ke Mekah untuk menunaikan lbadah haji dan menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan agama di sana. Selama mukim di Mekkah beliau bertempat tinggal bersama salah seorang gurunya yang merupakan ulama besar lndonesia bernama Syekh Abdul Karim Banten sesuai dengan anjuran salah seorang gurunya selama di Banten yaitu Syekh Sohib Kadu Pinang.

Mula-mula KH. Tubagus Muhammad Falak belajar ilmu tafsir Quran dan fiqh kepada Syekh Nawawi Al-Bantany dan Syekh Mansur Al-Madany yang keduanya berasal dari Indonesia. Dalam bidang ilmu Hadist beliau belajar kepada Sayyid Amin Qutbi dan dalam ilmu tasawwuf beliau belajar kepada Sayyid Abdullah Jawawi. Sedangkan dalam ilmu falak beliau belajar kepada seorang ahli ilmu falak bernama Sayyid Affandi Turki.

Khusus dalam ilmu fiqh, beliau belajar kepada Sayyid Ahmad Habasy, dan Sayyid Umar Baarum. Setelah dewasa KH. Tubagus Muhammad Falak memperdalam ilmu hikmat dan ilmu tarekat kepada Syekh Umar Bajened, ulama dari Mekkah dan Syekh Abdul Karim dan Syekh Ahmad Jaha yang keduanya berasal dari Banten.

Di bidang fiqh beliau belajar pula kepada Syekh Abu Zahid dan Syekh Nawawi Al-Falimbany. Di samping nama-nama di atas, selama di Mekkah beliau juga menuntut ilmu di bawah bimbingan ulama-ulama besar lainnya antara lain: Syekh Ali Jabrah Mina, Syekh Abdul Fatah Al-Yamany. Syekh Abdul Rauf Al-Yamany. dan Sayyid Yahya Al-Yamany. Bahkan selama di Indonesia, baik sebelum pergi maupun pada saat kembali dari Mekkah, KH. Tubagus Muhammad Falak berguru dan memperdalam ilmu pengetahuan kepada beberapa ulama besar banten diantaranya Syekh Salman, Syekh Soleh Sonding. dan Syekh Sofyan.

Selama berada di Timur tengah, KH.Tubagas Muhammad Falak berkunjung ke Baghdad Irak dan sempat berguru kepada ulama Mekkah yang sedang berada di Baghdad yaitu Syekh Zaini Dahlan. Di sana beliau pernah berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Jailani. Sedangkan selama berada di Madinah beliau berziarah ke makam Nabi Besar Muhammad SAW. Selama mukim pertama di Mekkah dan Madinah, KH.Tubagus Muhammad Falak seangkatan dengan Syekh Kholil Bangkalan yang pada periode yang sama tepatnya sekitar tahun 1860-an menuntut ilmu di Mekkah.

Setelah periode mukim pertama di Mekkah selama kurang lebih 21 tahun lamanya, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Nusantara pada tahun 1878.

Dalam konteks pergerakan kebangsaan melawan penguasa kolonial, dalam salah satu keterangan disebutkan bahwa KH Tubagus Muhammad falak menjadi salah satu kiai Banten yang turut aktif dalam pemberontakan petani banten 1888 yang dimotori oleh para kiai tarekat, diantaranya Syekh Abdul Karim, KH. Asnawi Caringin, KH. Tubagus Wasid dan KH.Tubagus lsmail. Akibat aktifitas politik tersebut beliau menjadi salah seorang yang menjadi sasaran untuk ditangkap oleh Belanda. Periode tersebut bertepatan dengan periode kepulangan beliau dari timur tengah ke Nusantara.

Pada tahun 1892, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan kembali memperdalam ilmu di sana hingga menjelang awaI abad ke-20 dan mengalami masa kebersamaan dalam kurun waktu yang sama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, kedua tokoh agama pendiri dua organisasi besar di Nusantara yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Selama berada di Mekkah dan Madinah pada periode pertama dan kedua, beliau sangat dikenal oleh para ulama baik seangkatan maupun angkatan yang lebih muda khususnya yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara yang sedang menuntut dan memperdalam ilmu di sana.

Kemudian pada awal abad 20 setelah kepulangannya dari Timur Tengah, KH. Tubagus Muhammad Falak memulai aktivitas pendirian pesantren setelah melalui masa perintisan yang cukup panjang baik setelah melalui aktivitas dakwah dan syiar Islam sejak dari Pandeglang hingga ke pelosok-pelosok di daerah bogor dan sekitarnya maupun setelah merintis pengajian di daerah Pagentongan.

Pendirian Pesantren Al-Falak di Pagentongan Bogor oleh KH. Tubagus Muhammad Falak merupakan perwujudan akhlak yang ditunjukan oleh beliau sebagai seorang ulama yang telah mengalami perjalanan intelektual dan spiritual yang panjang di Timur Tengah untuk memberikan pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat serta mernberikan penerangan-penerangan bagi umat dalam hal keislaman. begitu banyak kalangan yang datang kepada beliau untuk menjadikan dirinya sebagai guru yang dipandang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu pengetahuan agama Islam.

Dan begitu banyak pula para santri yang telah mendapatkan bimbingan beliau menjadi kiai, tokoh agama yang merupakan pendiri dan pemimpin pondok pesantren dan majelis ta`lim serta guru-guru agama Islam yang tersebar di berbagai pelosok di Indonesia dan mancanegara. bahkan banyak pula para santri beliau yang telah menjadi birokrat dan politisi di Indonesia.

Khusus dalam konteks pergerakan, aktifitas KH. Tubagus Muhammad Falak dalam gerakan kebangsaan semakin terlihat mantap ketika beliau semakin banyak berinteraksi dengan para tokoh pergerakan nasional dari berbagai kalangan diantaranya H.O.S Cokroaminoto, Ir. Soekarno, dan berbagai tokoh pergerakan nasional lainnya. kemudian pada masa sebelum dan masa revolusi fisik 1945-1949, KH. Tubagus Muhammad Falak telah tercatat sebagai salah searang ulama besar Indonesia yang menjadi tokoh Spiritual dalam bidang kerohanian di laskar Hizbullah yang pelatihannya berpusat di daerah Cibarusa dan pemimpin spiritual di Bogor yang senantiasa membangkitkan semangat Jihad fii Sabilillah melawan penjajah untuk membela dan mempertahankan republik Indonesia. Pada masa-masa kritis beliau banyak didatangi oleh banyak masyarakat dari kalangan sipil dan militer untuk meminta keberkahan atas karomah yang diyakini di miliki oleh beliau.

Pada tahun 1953, KH Tubagus Muhammad Falak mendirikan Nahdlatul Ulama di Bogor dan pada saat pembentukan dihadiri langsung oleh KH Wahid Hasyim. Adapun salah seorang cucunya yakni KH Soleh Tohor Falak pernah menjadi salah Ketua Tanfidziyah NU Bogor

Adapun gelar falak yang selama hidupnya melekat pada beliau rnerupakan gelar yang diberikan oleh gurunya yang bernama Sayyid Affandi Turki oleh karena kecerdasan dan keahlian beliau dalam menguasai ilmu hisab dan ilmu falak yang diajarkan oleh gurunya tersebut. Beliau yang dikenal di Mekkah dengan sebutan Sayyid Syekh Muhammad Falak ini selama hidupnya memiliki hubungan interaksi yang amat luas dan memiliki kedekatan dengan ulama-ulama besar di dalam dan luar Nusantara yang sebagian besar pernah berkunjung kepada beliau di Pagentongan antara lain: Syekh Abdul Halim Palembang, Syekh Abdul Manan Palembang, Syekh Abdul Qodir Mandailing, Syeikh Ahmad Ambon, Syekh Daud Malaysia, Tuan Guru Zainuddin Lombok, Guru Zaini Ghoni Martapura, Habib Soleh Tanggul Jawa Timur, Habib Umar Alatas, Habib Idrus Pekalongan, Habib Ali Al-Habsy Kwitang, Habib Abu Bakar Kwitang dan para habaib dan kiai dari berbagai daerah lainnya di Nusantara.

Ayahandanya KH. Tubagus Abas dikenal sebagai seorang ulama besar di Banten. Ia sebagai pendiri dan pemimpin pondok pesantren Sabi, hampir separuh usianya dihabiskan untuk mendidik santri-santrinya. Dari beliaulah pertama kali KH. Falak mendapat pendidikan dalam bidang baca tulis Al Qur’an, Sufi dan terutama pemantapan Aqidah Islam, bahkan karena cintanya kepada ilmu, di usianya yang masih muda, KH Falak sempat mengembara selama 15 tahun untuk menggali dan menuntut ilmu ke beberapa ulama besar yang ada di daerah Banten dan Cirebon.

Selama di Mekah KH. Falak tinggal bersama Syekh Abdul Karim, dari Syeh Abdul Karim hingga akhirnya mendapatkan kedalaman ilmu tarekat dan tasawuf, bahkan oleh Syekh Abdul Karim yang dikenal sebagai seorang Wali Agung dan ulama besar dari tanah Banten yang menetap di Mekah itu. KH. Falak dibai’at hingga mendapat kepercayaan sebagai mursyid (guru besar) Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.

Pada tahun 1878. KH Falak kembali ketanah air. Selama beberapa pekan K.H. Falak tinggal di tempat kelahirannya Pandeglang Banten dan mendapat kepercayaan untuk memimpin pesantren Sabi yang ditinggalkan oleh ayahnya.

Tetapi seperti pada umumnya perjalanan seorang mubalighin, aktivitas da’wah dan tablignya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam tidak akan terhenti sampai disana demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh KH Falak, sebagai wujud untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmunya, sejak tahun itu juga beliau mulai melancarkan aktivitas tablig dan da’wah secara estafet. Dimulai dari daerah Pandeglang, Banten hingga sampai ke Pagentongan Bogor dan bermukim disana hingga wafatnya.

KH Tubagus Muhammad Falak wafat pada waktu subuh pukul 04.15 hari Rabu tanggal 19 Juli 1972 atau tanggal 8 Djumadil Akhir 1392 H di usianya yang ke, 130 tahun di Pagentongan, Bogor.


Akhsan Ustadhi
Sekretaris PCNU Kabupaten Bogor
*Biografi ini diperoleh dari para anak dan cucu KH Tubagus Falak di Pondok Pesantren Al-Falak Pagentongan dalam acara Haul beliau, 5 Mei 2012.

Senin, 25 Juni 2012

PIDATO KETUA UMUM PBNU, Pada Hari Lahir Nahdlatul Ulama


Bismillahirrahmanirrahiem
Alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Salawat serta salam kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW,  yang membawa risalah Islam yang memberi petunjuk kepada kita sampai hari ini.
Peringatan Hari Lahir NU ke-85  yang dirayakan hari ini, sebagai ungkapan rasa syukur ke hadirat Allah SWT. Sekaligus juga merupakan perwujudan dari perjuangan NU selama ini yang telah berhasil muwujudkan komunitas Islam yang taat beragama, memiliki kejujuran tinggi dan ketekunan luar biasa serta memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap bangsa bahkan umat manusia sedunia. Semuanya itu ditempuh dengan sukses karena menggunakan paradigmanya sendiri yaitu mabadi tawassuth, tawazun dan tasamuh, sehingga bisa menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis. Dengan sikap dan pengorbanannya semacam itu NU tidak pernah berbuat onar apalagi memberontak pada negara dan Pemerintah yang sah.
NU hadir untuk memelihara dan mempertahankan Islam ala ahlussunnah wal jamaah maupun untuk mengemban tanggungjawab kultural untuk menyangga tradisi. Selain itu juga untuk menjaga keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila yang oleh almaghfurlah KH. Achmad Shiddiq pada Muktamar ke-27 tahun 1984 dirumuskan sebagai “Hasil Final Perjuangan Umat Islam.”
Segenap jajaran NU baik dari unsur kepengurusan organisasi mulai tingkat nasional sampai ranting-ranting pedesaan di seluruh Nusantara maupun di lapisan budaya terutama pesantren, para kiai pengasuh dan kalangan ulama, jaringan tariqah, serta jaringan-jaringan budaya NU lainnya senantiasa menjaga dan memelihara pengamalan ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah dan terus mencermati perkembangan dan tegaknya NKRI. 
NU merupakan organaisasi yang terus berkembang dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat tidak lain karena memiliki mabda yang tepat. Di tengah munculnya ekstrem ideologi dan gaya hidup, NU akan tetap mengambil jalan tengah (ummat wasathan), karena ini merupakan jalan Islam yang sesungguhnya, sebagaimana Firman Allah.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Dan demikianlah aku menciptakanmu sebagai umat yang (moderat, adil), agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatanmu.” (QS: Al Baqarah 143).
Ajaran ahlussunnah ini berpegang teguh pada Sunnah Nabi secara, qaulan wa fi’lan wa taqriran (sabda, tindakan dan kesepakatan). Sebagai pembawa misi kenabian maka Ahlussunnah selalu berpegang pada prinsip jamaah yaitu bersama dan membela kepentingan masyarakat banyak. 
Menghadapi tanggung jawab agama, negara dan bangsa ini NU perlu menyingsingkan lengan baju, karena hanya dengan demikian akan bisa mengemban peran besar sebagai syuhud hadhari (penggerak peradaban) bangsa, tetapi juga berperan sebagai syuhud tsaqafi (penggerak intelektual) dalam membangun dan menyangga bangsa ini. Komitmen NU pada bangsa ini tidak bisa ditawar, karena NU terlibat dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sehingga ketaatan NU pada Bangsa dan negara ini bersifat mutlak. Dalam negara ini bukan sekadar berperan sebagai stake holder (pemangku kepentingan) yang tidak memiliki peran apapun, sebagaimana sering disebut orang. NU turut mendirikan negara ini dengan pengorbanan harta dan nyawa, karena itu NU duduk sebagai share holder (pemilik saham) dalam NKRI ini, sehingga posisinya kuat dan memiliki tangung jawab terhadap negara ini.
Dengan mengacu kepada Khittah Nahdliyah yang menegaskan NU sebagai gerakan dakwah dan sosial keagamaan, di masa mendatang akan meneguhkan NU sebagai  syuhud tsaqafah atau gerakan kebudayaan.  Dengan strategi itu, dalam kesempatan ini perlu kami tegaskan bahwa  kelanjutan perjuangan pengabdian NU terhadap bangsa dan negara ini di masa mendatang akan terus ditingkatkan untuk mendorong peneguhan persatuan bangsa dan penguatan kedaulatan negara di tengah benturan kepentingan antar-bangsa yang belekangan telah melahirkan kolonialisme (baru), terutama di bidang ekonomi,  serta ikut mengupayakan perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945.
Sekali lagi ingin kami sampaikan, bahwa dalam konteks itu, peran NU diletakkan sebagai kekuatan ketiga di luar lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga penyelenggara negara. Kekuatan NU bertumpu pada tiga tataran. Yakni paham ahlussunnah wal jamaah (di dalamnya antara lain ada fikrah Nahdiyah yang melahirkan Islam moderat), nilai-nilai/tradisi dan lembaga-lembaga budaya mulai dari pesantren, jaringan thariqah, dll, serta jaringan struktur sebagai infrastrukur organisasi yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Jaringan kekuatan tersebut sejauh ini efektif memainkan peran sebaga penyangga bangsa di luar lembaga-lembaga politik dan penyelenggara negara yang belakangan ini mengalami kemerosotan legitimasi karena lemah dalam menjalankan fungsi pokoknya.
Sementara di antara partai-partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat kerapkali menunjukkan terjadinya benturan kepentingan dan saling memanfaatkan kelemahan yang amat menentukan dalam proses pembuatan kebijakan negara yang hasilnya  pada umumnya jauh dari kepentingan rakyat. Sebaliknya, atas nama kebebasan rakyat pun cenderung  mengartikulasikan kepentingannya dengan cara esktra parlementer.
Semua ini menunjukkan tidak terjadinya pelembagaan politik dalam memenuhi aspirasi rakyat baik oleh partai maupun lembaga perwakilan rakyat. Sementara itu, Pemerintah sendiri belum bisa berbuat banyak untuk memenuhi hak-hak dasar, hajat hidup  dan berbagai aspirasi rakyat tanpa dukungan penuh dari  Dewan Perwakilan Rakyat. Sangat memprihatinkan  bahwa  demokratisasi dalam dua belas tahun terakhir ini hanya menghasilkan kehidupan yang serba liberal, baik di bidang politik, ekonomi maupun kebudayaan.
Dalam hal ini NU mengetengahkan beberapa prinsip tentang demokrasi. Pertama, demokrasi haruslah mampu menjaga keutuhan bangsa. Kedua, mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ketiga, demokrasi harus mampu menjaga kebersamaan dan kebhinekatunggal-ikaan. Keempat, demokrasi harus memperhatikan prinsip musyawarah. Kelima, demokrasi harus mampu menjamin kepercayaan pada Tuhan yang Maha Esa.
Perbaikan demokrasi ini tidak hanya di bidang politik, tetapi sekaligus di bidang ekonomi dan kebudayaan. Ketiganya haruslah dibangun berdasarkan prinsip kedaulatan, kebangsaan dan kerakyatan. Sistem ekonomi inilah yang akan mampu menyelamatkan kita dari berbagai goncaangan krisis ekonomi dunia.
Alhamdulillah Indonesia selamat dari krisis ekonomi dunia yang terjadi beberapa tahun yang lalu sehingga posisi ekonomi kita saat ini cukup kuat, baik cadangan devisa kita terus meningkat.
Penguatan fundamental ekonomi ini sangat membutuhkan sistem politik yang stabil sebagai penopangnya. Karena itu kita perlu terus mengkonsolidasi demokrasi ini, sesuai dengan yang digariskan Pancasila, yaitu demokrasi kerakyatan dan berketuhanan. Demokrasi ini yang diharapkan mampu menciptakan stabilitas politik nasional baik di bidang eksekutif maupun legislatif. Mengingat pentingnya dua hal tadi maka sebagai tanggung jawab moral dari organisai keulamaan ini, maka NU akan selalu bersinergi dengan pemerintah. Dalam arti, kalau kebijakan pemerintah pro rakyat dan berpihak pada kepentingan bangsa akan kami dukung. Sebaliknya bila kebijakan pemrintah mengingkari aspirasi rakyat dan kepentingan nasional NU akan melakukan kritik. Perlu saya tegaskan lagi bahwa kesetiaan NU pada negara itu mutlak, tetapi kesetiaan pada Pemerintah bersifat kondisional, kalau benar didukung kalau salah dikritik, berdasarkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar.
Sikap dasar NU ini belum banyak diketahui orang, sehingga kesalahpahaman terhadap NU terus terjadi. Hal itu tidak lain ada orang yang memang tidak tahu NU, tetapi ada yang pura-pura tidak tahu, celakanya ada orang yang memang tidak mau tahu tentang NU, karena itu meremehkan eksistensi NU yang berarti pelecehan terhadap elemen penting dari bangsa ini. Kata sebuah pepatah bahwa al-insanu ‘aduwwu ma jahil (manusia membenci apa yang tidak diketahui). NU tidak mereka kenal karena itu mereka benci. Karena itulah Harlah Ke-85 NU ini dilaksanakan dengan tema besar Meneguhkan Kemandirian dan Persatuan untuk Perdamaian Dunia ini untuk kembali memperkenalkan peran-peran kesejarahan NU.
Bagi NU kedaulatan bangsa dan negara itu sangat penting, hanya dengan kedaulatan itulah kita bersatu dan bisa mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan. Atas nama kemandirian atau kedaulatan itulah NU dulu berjuang melawan penjajah untuk mendirikan republik ini.
NU telah banyak berbuat untuk negeri ini sejak dalam merebut kemerdekaan, menyiapkan konstitusi serta mengisinya. Hingga saat ini NU tetap mandiri dalam mengelola pendidikan, saat ini NU memiliki 22.000 pesantren dan 400. 000 madrasah. Selain itu mandiri dalam mengelola ekonomi. Hingga saat ini NU memiliki banyak BPR dan micro finance, NU menghimpun ribuan petani dan nelayan. Sejak dahulu NU juga mandiri dalam membina sosial, dalam hal ini NU memiliki puluhan ribu jamaah tarekat, jamaah pengajian, jam’iyatul qurra wal huffadz dan  sebagainya belum lagi barisan pemuda dan remaja. Semuanya dikelola secara mandiri baik dari segi teknik maupun dana. Pendeknya, NU telah berbuat banyak terhadap negara ini. Karena itu sudah selayaknya semua pihak, terutama negara mendukung seluruh agenda NU agar peran NU dalam menegakkan bangsa ini semakin besar.
Usulan perbaikan sistemik ini perlu ditegaskan, mengingat bahwa tanpa sistem yang baik tidak mungkin perbaikan bisa dilaksanakan. Sebagaimana sebuah pepatah mengatakan bahwa faqidusy-syai’i la yu’thihi (barang siapa tidak memiliki sesuatu maka tidak akan bisa memberi). Bagi orang yang tidak adil, tidak mungkin menegakkan keadilan, bagi yang tidak memiliki kejujuran tidak mungkin berlaku jujur dan seterusnya. NU menginginkan dengan adanya sistem yang baik semua bisa dimungkinkan untuk berjalan dengan baik, adil, jujur dan benar. Karena tidak mungkin pemerintah yang tidak adil bisa memperjuangkan keadilan bagi rakyatnya. Dan tidak mungkin pula pemerintah yang tidak jujur bisa memberantas korupsi dan berbagai macam ketidakjujuran.
Sebagai organisasi keulamaan yang berorientasi kerakyatan dan sebagai wujud dari ahlusunnah wal jamaah yang selalu bersama sawadil a’dzom (kelompok mayoritas), NU akan terus menerus memperjuangkan kepentingan rakyat, dengan cara tarbiyatur ruhiyah (mendidik dan menyirami rohani mereka) serta tazkiyatun nafs (menyucikan jiwa mereka). Karena itu di NU terdapat berbagai macam aliran tarekat mu’tabarah, yang baru saja mengadakan Multaqas Shufi al-Alamy (Pertemuan Sufi Sedunia) di Jakarta dalam rangkaian acara Harlah ini. Kita harapkan pencerahan jiwa dan kebersihan hati itu tercermin dalam perilaku sosial, perilaku politik dan dalam kerja ekonomi sehari-hari.
NU memiliki pengelaman sejarah yang panjang termasuk dalam menghadapi berbagai peristiwa besar. Pengalaman sejarah itu yang ingin dipejari orang lain termasuk dari luar negeri. Termasuk banyak ahli tarekat yang ingin belajar pada pengalaman Indonesia, demikian juga para aktivis dan politisi dunia, termasuk dari Afghanistan berusaha mencoba bertukar pengalaman dengan kita bagaimana sebuah agama dan organisasi keulamaan bisa menjadi perekat bagi keutuhan bangsa.  Pengalaman berbangsa dan bernegara itu yang ingin dibagi bersama bangsa lain terutama dalam menegaskan hubungan agama dengan negara, dan menerapkan ideologi negara Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Indonesia yang multi etnis, multi agama dan ideologi tetapi kerukunan sosial bisa terjaga, hal itu tidak lain karena kita memiliki ikatan spiritual yang mendalam, serta memiliki ikatan ideologi yang kokoh yaitu Pancasila. Secara kontras bisa bandingkan dengan Timur Tengah, merka relatif homogen secara agama, tetapi mereka sulit bersatu bahkan selalu dalam ketegangan, hal itu tidak lain karena spiritualitas mereka keropos, sehingga tidak memiliki kemampuan beradaptasi  ketika tidak ada lagi sikap tawasuth, tawazun dan tasamuh. Karena itu merek ingin belajar pada kita. Dan kita siap berdialog dan tukar pengamalam dengan mereka.
Itulah beberapa pokok pikiran yang perlu kami samapaikan dalam Harlah NU ini, sebagai pegangan dan sekaligus sebagai pijakan dalam melakukan aktivitas selanjutnya. Karena itu sekali lagi kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada semua pihak atas partisipasinya dalam pelaksanaan Harlah ini. 
Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Pidato H. As'ad Said Ali di Istambul, Islam Rahmatan Lil ‘Alamin: NU dan Peran Kenegaraannya


Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokaatuh

Hadirin yang kami hormati,

Sebuah kehormatan bagi kami, karena diberi kesempatan untuk mengikuti pertemuan dalam rangka mempromosikan perdamaian di Afghanistan. Turki tepat mengadakan pertemuan ini karena Turki adalah negara yang mengembangkan moderasi Islam sebagai wujud dari nilai kerahmatan Islam.
Tentunya kami sangat menghargai berbagai pihak yang melakukan inisiatif, demi terselenggaranya pertemuan ini. Mungkin kami diundang pada pertemuan ini, karena pada Juli yang lalu, kami Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyelenggarakan pertemuan dengan 20 ulama Afghanistan, untuk berbagi pandangan dan pengalaman tentang Islam moderat, serta merumuskan langkah-langkah demi terwujudnya perdamaian di Afghanistan. Karena kemampuan kami terbatas, maka kami memohon maaf, jika ulama-ulama yang diundang bersifat terbatas.
Pertemuan ini secara strategis merupakan second track diplomacy, yakni diplomasi antar-masyarakat yang dipelopori oleh para ulama. Second track diplomacy ini merupakan alternatif, demi mewujudkan perdamaian, sebab meskipun para ulama bukan pihak berwenang pengambil kebijakan, namun ulama memiliki kewajiban untuk mendorong dan memberikan pemikiran bermakna, demi terwujudnya perdamaian. Hal ini wajar sebab ulama adalah penerang bagi umat. Ulama sebagai pewaris nabi (warastatul anbiya’) memiliki peran signifikan dalam proses transformasi masyarakat.
Oleh karena itu, perwujudan perdamaian di Afghanistan penting, sebab ia menjadi parameter perdamaian di dunia Islam, dan ikut menyumbangkan usaha berharga bagi penanggulangan terorisme. Pada pertemuan di Indonesia, kami telah memberikan pandangan dan pengalaman ulama-ulama NU dalam rangka mengawal perjalanan bangsa. Kami bukan partai politik, tetapi secara konsisten ikut memikirkan dan mengawal Republik Indonesia (RI), sejak pra-kemerdekaan, hingga pasca-kemerdekaan. Dalam pertemuan itu, ada 9 prinsip yang disepakati oleh ulama-ulama Afghanistan dan PBNU. Salah satu ulama besar yang ikut merumuskan 9 prinsip ini adalah almarhum al-maghfurlah Prof Dr Burhanuddin Rabbani. Beliau dengan optimis ikut merumuskan prinsip-prinsip ini dan menganjurkan agar prinsip tersebut digulirkan secara terus-menerus, sehingga bisa memberikan inspirasi bagi perwujudan Islam moderat dan perdamaian di dunia Islam. 9 prinsip tersebut meliputi: 
1. Untuk menegaskan prinsip Islam sebagai agama kasih sayang "Rahmatan lil alamin", yang menjunjung tinggi prinsip moralitas yang baik (al-Akhlaq al-karimah), persaudaraan Islam (al-Ukhuwah al-Islamiyah), dan prinsip-prinsip yang moderat (al-Tawassuth), keseimbangan (al-tawazun), toleransi (al-Tasamuh) dan hanya (al-I'tidal).

2. Untuk menegaskan kebutuhan untuk membangun kembali saling menerima, saling percaya dan persaudaraan bersama antara berbagai komponen bangsa di Afghanistan (al-Ukhuwah ak-Sya'biyyah al-Wathoniyyah al-Afghaniyyah).

3. Untuk mendorong pembentukan independen dan soverign Afhan yang bebas dari segala intervensi, Kolonialisme dalam segala manifestasinya.

4. Untuk kembali peran lembaga perwakilan dengan memperhatikan keterwakilan komprehensif dalam pembangunan bangsa (al-Tanmiyyah al-Watthoniyyah).

5. Mengekspresikan keinginan tulus untuk mengakhiri semua bentuk konflik dan sengketa yang terjadi di seluruh wilayah Afghanistan, dan untuk mengembalikan pengungsi ke tempat asal mereka secara bertahap.

6. Untuk menjamin hak tinggal bagi semua warga negara di semua bagian negara, karena mereka memiliki hak untuk berada di mana saja, untuk bergabung dengan organisasi, dengan memperhatikan budaya lokal dan kebijaksanaan.

7. Seperti untuk melaksanakan rekonsiliasi nasional, perlu untuk memperkuat peran Dewan Perdamaian dan Rekonsiliasi di Afghanistan, dan juga untuk memperkuat integrasi Afghanistan, dan juga untuk memperkuat integrasi Afghanistan untuk menyelesaikan semua masalah di masa lalu.

8. Untuk semua pihak untuk berpartisipasi dalam menciptakan kebaikan umum (al-Mashalih al-'ammah) termasuk rehabilitasi sarana ekonomi dan infrastrucuture, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan sarana ibadah.

9. Seperti pembuatan untuk perdamaian diperlukan, kita perlu upaya rekonsiliasi lebih lanjut yang memerlukan keterlibatan lanjutan dari seorang fasilitator yang diterima oleh seluruh komponen bangsa di Afghanistan.
Dengan sembilan perinsip ini, Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, bisa menjadi katalisator bagi upaya strategis dalam perwujudan perdamaian di Afghanistan. Tentu selain prinsip keislaman, upaya ini juga membutuhkan langkah-langkah demokratis dalam menyatukan berbagai pihak di Afghanistan, sehingga kepentingan bangsa bisa menjadi "titik pemersatu" atau kebaikan bersama (common good) yang melampaui segenap perbedaan kepentingan.  
Hadirin yang kami hormati,  

Dalam kaitan inilah, izinkan kami berbagi pandangan dan pengalaman terkait dengan peran ulama dalam mengawal perjalanan bangsa, melalui prinsip keislaman yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini penting, sebab sebagai muslim nahdliyyin, pertama-tama kami memahami diri sebagai orang Indonesia yang beragama Islam. Bukan sebaliknya, orang Islam yang berada di Indonesia. Positioning ini menjadi penting, sebab dengan memahami diri pertama kali sebagai orang Indonesia, maka corak keberislaman kami pun bisa sesuai dengan kebutuhan mendasar bangsa kami. Dengan memahami diri sebagai muslim Indonesia, maka kami tidak tercerabut dari akar kebudayaan kami, dan akhirnya tidak memaksakan pandangan serta persoalan yang bukan menjadi persoalan bangsa kami.

Oleh karena itu dalam sejarah NU, organisasi yang pertama kali didirikan para ulama-pesantren (sebelum kelahiran NU) bukanlah Nahdlatul Muslimin, melainkan Nahdlatul Wathon (Kebangkitan Bangsa, 1916). Karena berada dalam konteks kolonialisme, maka ulama-ulama pesantren tidak lagi mengedepankan kekelompokan Islam yang bersifat terbatas, melainkan suatu kebangkitan bangsa demi perjuangan mengusir penjajahan. Nahdlatul Wathon sebagai pusat pergerakan kemerdekaan ini kemudian diperkuat dengan pendirian Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) yang merupakan upaya para ulama untuk membangun kemandirian ekonomi masyarakat, vis a vis kolonialisme. Nahdlatut Tujjar kemudian menjadi perjuangan praksis pada level ekonomi, di samping perjuangan pada level kebangsaan melalui Nahdlatul Wathon.
Segenap pola perjuangan ini kemudian disempurnakan melalui pembentukan Tashwirul Afkar (1918), sebuah forum diskusi para ulama, untuk mengembangkan wawasan keislaman yang kontekstual dengan kebutuhan bangsa. Berpijak dengan pembentukan ketiga organisasi inilah, NU sebagai naungan organisasional bagi perjuangan ulama-ulama pesantren, didirikan pada 31 Januari 1926.

Kesadaran kebangsaan ini bisa terbentuk, karena kami memahami Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Artinya, karena rahmat Islam tidak hanya untuk umat muslim, maka perjuangan Islam bisa diperluas ke dalam konteks kebangsaan yang tentunya melampaui sekat-sekat keagamaan. Kami, Nahdlatul Ulama (NU), secara prinsipil memang memahami Islam terutama sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).
Artinya, Islam ketika dilaksanakan secara benar, akan mendatangkan rahmat, baik untuk orang Islam maupun bagi seluruh alam. Islam sebagai agama penyempurna tidak hanya membatasi kebaikannya, murni untuk umat Islam semata, melainkan untuk semesta alam, baik seluruh manusia, makhluk dan kehidupan itu sendiri. Kesempurnaan Islam terletak di dalam kesemestaan ini, yang akhirnya tidak membatasi dirinya dalam klaim kelompok, klaim golongan, apalagi klaim pribadi. Kebaikan, kebenaran dan keadilan Islam bersifat menyeluruh, karena Kemahakuasaan Alloh SWT meliputi segala sesuatu.

Dalam QS. Al-Baqarah: 163 Alloh berfirman:   وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha pemurah lagi Maha Penyayang. 

Hal serupa ditegaskan di QS. Al-Anbiya’: 107:وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ 


Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. 

Sifat Rahman dan Rahim Alloh, serta derajat Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat bagi semesta alam, telah menunjukkan ketinggian nilai Islam, yang sempurna, justru karena ia meliputi segala sesuatu. Rahmat yang berakar pada asma terpuji Alloh, al-Rahman, adalah Kasih Sayang Alloh yang tentu mencakup seluruh ciptaan-Nya. Oleh karena itu, Islam tidak bisa membatasi rahmat-Nya, hanya untuk umat Islam, karena ciptaan Alloh melampaui sekat keagamaan, organisasi, negara, dan bahkan batasan manusiawi.

Hadirin yang kami hormati,   

Pemahaman Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin mengandaikan sebuah pengertian, bahwa Islam telah mengatur tata hubungan, menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan kemanusiaan. Karena dasar dari pemahaman Islam rahmatan lil ‘alamin adalah Kasih Sayang Allah, maka nilai kerahmatan ini menjadi dasar bagi seluruh tata hubungan tersebut.

Dalam kaitan ini, sebagai organisasi yang menjalankan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin, NU memiliki nilai-nilai operasional yang mengejawantahkan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin tersebut. Pertama, tawasuth. Yakni sikap mengambil jalan tengah ketika berada di dua titik ekstrim, dengan menampilkan keberislaman yang moderat dan kontekstual. Pilihan atas sikap tawasuth ini didasari oleh kemampuan NU untuk menemukan nilai-nilai substantif dari Islam, dengan pengamalan ajaran Islam yang kontekstual dengan kebutuhan umat.
Kedua, i’tidal. Sikap adil ini menjadi substansi, konsistensi, dan akurasi yang senantiasa dijaga di dalam posisi tawasuth tersebut, sehingga jika tawasuth berkaitan dengan posisi, maka i’tidal adalah substansi yang dijaga di dalam posisi tawasuth tersebut. Dalam praktiknya, sikap tawasuth dan i’tidal ini kemudian melahirkan sikap-sikap nahdliyyah lainnya, yakni tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang) dan tasyawur (musyawarah).
Oleh karena itu, NU kemudian menjadi garda depan moderatisme Islam di Indonesia, karena ia telah menemukan pemahaman yang seimbang dan adil dari ajaran-ajaran Islam. 

Dalam menjalankan tawasuth dan i’tidal ini, NU menggunakan tiga pendekatan. Pertama, fiqh al-ahkam, yakni pendekatan syari’ah untuk masyarakat yang telah siap melaksanakan hukum positif Islam (umat ijabah). Kedua, fiqh al-da’wah, yakni pengembangan agama di kalangan masyarakat melalui pembinaan. Ketiga, fiqh al-siyasah, yang merupakan upaya NU dalam mewarnai politik kebangsaan dan kenegaraan. 

Dalam politik kenegaraan inilah, ulama-ulama NU telah menggariskan suatu kebijaksanaan fiqhiyyah sebagai mekanisme logis untuk menghadapi persoalan bangsa. Jadi, sah tidaknya suatu persoalan kenegaraan, sering dilihat dari sah tidaknya persoalan itu menurut cara-pandang fiqh. Salah satu contoh yang populer di kalangan kami adalah penggunaan kaidah fiqh, ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu: apa yang tidak bisa didapatkan semuanya, jangan ditinggal prinsip dasarnya. Kaidah ini kemudian menjadi landasan normatif dalam menetapkan sikap NU terhadap corak kenegaraan Indonesia yang memang bukan negara Islam.

Hal ini dipraktikkan dalam beberapa fase sejarah. Pertama, pra-kemerdekaan. Dalam Muktamar NU di Banjarmasin (1935), NU dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apa hukum pemerintahan yang secara konstitusional berada dalam kekuasaan Hindia-Belanda? Apakah ia berarti negara kafir (dar al-harb), ataukah bisa diupayakan suatu negara Islam (dar al-Islam)?
Dengan berpijak pada tradisi fiqh, maka wilayah Hindia-Belanda ini kemudian ditetapkan sebagai dar al-salam atau dar al-shulh (negeri damai). Argumentasinya jelas: meskipun pemerintahannya tidak Islami, tetapi umat Islam di dalamnya memiliki hak untuk melaksanakan syari’at Islam dengan nyaman dan aman. Hal ini menegaskan sutu prinsip, bahwa ketika prinsip dasar Islam, yakni pelaksanaan syari’at bisa dilaksanakan di sebuah negara yang struktur konstitusionalnya tidak Islami; hukum bagi negara tersebut bukanlah dar al-harb, melainkan dar al-salam, negeri damai.

Kedua, fase pembentukan negara-bangsa RI. Dalam perumusan konstitusi dan bentuk kenegaraan Indonesia (1945), masyarakat kami dihadapkan pada persoalan krusial dan sensitif: apa corak kenegaraan Indonesia? Apakah ia harus menjadi negara agama, ataukah negara sekular? Umat Islam, sebagai umat mayoritas, tentu memiliki harapan agar kenegaraan RI menjadi negara Islam.
Dalam kaitan ini, NU memiliki pemikiran lain. Karena sejak awal, kebangsaan Indonesia bersifat majemuk, maka corak kenegaraan yang berdasar pada satu konsepsi keagamaan, akan bertabrakan dengan kondisi majemuk tersebut. Hal ini sebenarnya telah diwadahi oleh kebijaksanaan falsafah negara kami, yakni Pancasila.
Di dalam falsafah yang digali dari kebijaksanaan kebudayaan Nusantara ini, terdapat prinsip Bhinneka Tunggal Ika tanhana Dharma Mangrwa: kemajemukan itu hakikatnya satu, karena tidak ada Kebenaran yang mendua. Meskipun bangsa kami memiliki suku, agama, dan budaya yang begitu majemuk, namun ia tetap berada dalam satu kebenaran, karena tidak ada Kebenaran yang mendua.

Dengan ajaran bijak dari local wisdom ini, maka ulama NU akhirnya menentukan sikap: negara RI bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekular. Ia adalah negara yang didasari oleh nilai-nilai keagamaan. Hal ini dengan baik dijaga oleh keberadaan sila pertama dari Pancasila itu sendiri, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan menempatkan nilai ketuhanan sebagai prinsip (sila) pertama dalam Pancasila, maka negara RI adalah negara yang mendasarkan diri pada nilai ketuhanan. Hal ini memiliki konsekuensi strategis, yang jika dilihat dari prinsip ke-NU-an, menggambarkan sikap tawasuth dan i’tidal. Yakni, di satu sisi, negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama.
Sementara di sisi lain, agama memiliki peran signifikan: ia menjadi dasar etis bagi pembentukan suatu masyarakat madani yang dibutuhkan demi terbangunnya kenegaraan yang beradab. Agama akhirnya menjadi “agama publik” (public religion) yang digerakkan oleh para pemuka dan organisasi keagamaan, untuk membentuk etika sosial dan etika kewarganegaraan yang berlandaskan nilai-nilai etis keagamaan.

Pada titik ini, prinsip ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu menemukan ruangnya lagi. Sebab, ketika nilai-nilai substantif Islam, seperti keadilan, kejujuran, saling mengasihi, kemashlatan, dsb bisa diterapkan untuk membentuk etika publik, perjuangan pendirian struktur kenegaraan Islam tidak lagi menjadi persoalan utama. Hal ini terkait dengan prinsip keislaman dalam NU, yang tidak terjebak dalam penerapan aspek formalis atau institusional dari syari’at, melainkan upaya demi terwujudnya tujuan utama syari’at (maqashid al-syari’ah). Tujuan utama syari’at itu terdapat dalam kemashlatan, yang mewujud dalam pembelaan terhadap lima hak dasar manusia, yakni hak hidup, hak beragama, hak berpikir, hak bekerja, dan hak berkeluarga.

Fase ketiga, adalah fase azas tunggal Pancasila. Kami pernah mengalami satu masa, di mana negara (era Orde Baru) secara koersif, menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi politik, yang mengeliminir ideologi-ideologi lainnya. Di segenap lini masyarakat, baik partai politik maupun organisasi kemasyarakatan, Pancasila harus menjadi satu-satunya azas yang mengganti azas lainnya, termasuk azas Islam.

NU pada Muktamar ke-27 di Situbondo (1984) kemudian mengambil sikap. Pancasila adalah azas kenegaraan, bukan azas agama. Selama tidak hendak menggantikan akidah Islam, maka Pancasila bisa diterima. Penetapan ini bisa kita pahami dengan menyimak ungkapan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dengan simbolis, beliau menjelaskan: “Pancasila adalah rumah kita. Sementara Islam adalah rumah tangganya”.
Artinya, Pancasila adalah bangunan rumah bersama, yang bisa ditempati oleh siapa saja. Sementara itu bagi warga NU, rumah tangga untuk menata rumah itu, tetaplah akidah Islam. Sikap dan ketetapan seperti ini bukan suatu logika taktis atau bahkan oportunisme politik. Melainkan sebuah sikap tawasuth yang lahir dari pemahaman atas substansi ajaran Islam, serta kesadaran atas kebutuhan untuk membangun kenegaraan yang beradab. Dengan menerima azas Pancasila ini, NU ikut membangun pola kenegaraan konstitusional, sebab dasar konstitusional tersebut, yakni Pancasila, adalah nilai-nilai luhur yang selaras dengan syari’at Islam. 

Berdasarkan pada pengalaman historis di atas, maka NU secara konsisten mengiringi perjalanan kenegaraan RI. Sebab menurut NU, struktur kenegaraan RI, dengan Pancasila sebagai falsafah, dan konstitusi yang memuat perlindungan dan pemenuhan atas hajat hidup masyarakat, adalah struktur kenegaraan yang secara substantif, sesuai dengan nilai-nilai dasar Islam. Di dalam kesesuaian dasariah inilah, NU menempatkan peran kenegaraannya. Oleh karenanya, di tengah upaya-upaya ideologis yang digerakkan oleh sayap ekstrim, seperti komunisme dan gerakan fundamentalis Islam, NU tetap berada di titik tawasuth dan i’tidal, sehingga di setiap fase sejarah kenegaraan RI, sikap NU senantiasa sama, yakni mengawal nilai-nilai keadilan yang menjadi prinsip utama dari syari’at Islam.

Hadirin yang kami hormati,

Demikianlah pandangan dan pengalaman NU dalam mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara substantif bisa diambil kesimpulan bahwa dengan memahami Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, maka pergerakan Islam tidak akan terbatas pada kelompoknya sendiri. Dalam kaitan ini, Islam adalah agama yang sempurna, justru karena ia bisa merangkul segenap persoalan yang berada di luar batas kediriannya. Paradigma perjuangan Islam untuk bangsa, untuk masyarakat, dan untuk kemashlahatan semua golongan akan menunjukkan kebesaran Islam, sebab sebagai agama rahmat, ia memiliki keluasan tak terbatas untuk menyelesaikan segala persoalan. Dengan keluasan Islam inilah, diharapkan berbagai perbedaan di dunia Islam bisa ditemukan kembali pada titik yang sama, yakni kebesaran Islam itu sendiri, sebagai agama yang rahmatnya meliputi semesta alam.
Semoga sumbangan pandangan dan pengalaman ini bisa menjadi inspirasi dan pijakan berharga bagi upaya perwujudan perdamaian di Afghanistan dan dunia Islam secara umum.


Wassalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh


Hormat kami, 9 November 2011
Atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

H. As’ad Said Ali
sumber dari situs resmi NU http://www.nu.or.id

Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU


Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU

Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU; Dukungan KH Kholil Bangkalan terhadap KH. Hasyim Asy’ari

    Artikel ini dikutip dari buletin Nahdliyah yang diterbitkan PCNU Pasuruan edisi 1 dan 2 September dan Oktober 2006. Artikel ini dimuat kembali agar generasi muda NU dan simpatisannya semakin memahami NU dan mempertebal keimanan Ahlussunnah wal Jamaahnya.
Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.
Keresahan Kiai Hasyim
Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.
Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.
Tongkat “Musa”
“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Setelah memberikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.
Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok  Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.
Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar  ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.
Bapak Spiritual
Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).
Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).
Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.
Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.
Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.
Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas:
“Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW, orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.”
Lebih tegas beliau menyatakan:
“Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah wali yang sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab dia mengatakan sir al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat kedustaan atas Allah Ta’ala.”
Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga bersikap kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar, 2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.
Wallahu a’lam.
Penulis: Moh. Syaiful Bakhri
Penulis buku “Syaikhona Cholil Bangkalan: Ulama Legendaris dari Madura” dan sekretaris Lajnah Ta’lif Wan Nasr NU Kabupaten Pasuruan. Pemuatan artikel ini juga merupakan penghormatan dan dukungan moril kepada PCNU Kab. Pasuruan yang berusaha mendorong terciptanya masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlakul karimah dengan menerbitkan buletin dua bulanan. Semoga usaha penerbitan ini bisa istiqamah.

Dedi ponkY (wonk Cirebond). Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Di Google

Foto saya
Cirebon_Wonk waroe Djaya, Jawa barat, Indonesia
web counters Belajar Mengenal Html
<<<<Trik-Trik Blogger>>>>
Home
1.Trik Blogger
Cara bikin blog
2.Trik Blogger
Membuat judul blog berjalan
3.Trik Blogger
Huruf besar tampil di posting
3.Trik Blogger
Cara membuat menu dtree
4Trik Blogger
.Mengubah saiz lebar colom
5.Trik Blogger
Membuat link listlabel
6.Trik Blogger
membuat- effek neon box pada teks
7.Trik Blogger
Menggunakan Otomatis Scroll Image Kembali ke bagian atas halaman
8.Trik Blogger
Membuat buku tamu tersembunyi
9.Trik Blogger
Membuat menu horizontal
10.Trik Blogger
Membuat Menu Horizontal dengan drop menu horizontal
11.Trik Blogger
Membuat menu horizontal dengan variasi tab animasi
12.Trik Blogger
Membuat Galery foto
13.Trik Blogger
Membuat Daftar Isi Otomatis
14.Trik Blogger
Membuat Menu Horizontal Sederhana
15.Trik Blogger
Cara Membuat tampilan Link Exchange lebih menarik
16.Trik Blogger
Manajemen Iklan: Random Banner Pada Satu Area
17.Trik Blogger
Membuat menu kontak pada blof
18.Trik Blogger
Cara menampilkan pesan pada jam tertentu di blog
19.Trik Blogger
Cara pasang jam di blog
20.Trik Blogger
Membuat redmore
20.Trik Blogger
Membuat redmore.2
21.Trik Blogger
Membuat Kotak Search Sendiri di Blogger
22.Trik Blogger
Menghilangkan navbar blog
23.Trik Blogger
Membuat link terbuka di tab baru
24Trik Blogger
.Membuat gambar di pojok
25.Trik Blogger
Membuat kotak komentar di bahwah posting
26.Trik Blogger
Membuat footer 3 kolom
27.Trik Blogger
Cara Menghilangkan Tanggal Posting
28.Trik Blogger
Gambar Berubah Saat Terkena Kursor
29.Trik Blogger
Cara membuat menu Dtree
30.Trik Blogger
Memasang youtube di blog
31.Trik Blogger
Membuat menu horizontal
32.Trik Blogger
membuat-float image dan teks gambar
32.Trik Blogger
Mengubah Ukuran Template Blog
33.Trik Blogger
Macam-macam marquee/Tulisan berjalan
34.Trik Blogger
Free Template
35Trik BloggerMengetahui jumblah pengunjung
36.Trik Blogger
free bener


















Anda pengunjung yang ke :

Apakah blog ini bermanfa't ?

Pengikut

Web hosting for webmasters
Belajar Sejarah Islam