Belajar Sejarah Islam
Selamat datang dan terimakasih anda sudah mau berkunjung

Senin, 07 Januari 2013

Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara

Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara

 M. Hariwijaya, S. S., M.S.i.
Berdirinya kesultanan Banten diawali ketika kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke jawa barat. Pada tahun 1524, Sunan Gunung Jati alias Syarif Hidayatullah bersama pasukan demak menaklukkan penguasa banten, dan mendirikan kesultanan banten yang berada di bawah pengaruh demak.
Kota banten terletak di pesisir selat sunda, dan merupakan pintu gerbang yang menghubungkan Sumatra dan jawa. Posisi banten yang sangat strategis ini menarik perhatian Demak untuk menguasainya. Di tahun 1525 – 1526 pasukan demak bersama Sunan Gunung Jati berhasil menguasai baten.
Sebelum banten berdiri sebagai kesultanan, wilayah ini termasuk bagian kerajaan pajajaran yang beragama hindu. Pada awal abad ke – 16, yang berkuasa di banten adala prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan kadipaten di banten Girang. Adapun daerah Surasowan hanya berfungsi sebagai kota pelabuhan. Menurut berita Joad Barros (1616), wartawan Portugis, diantara pelabuhan yang tersebar di wilayah pajajaran, pelabuhan sunda kelapa dan banten merupakan dua pelabuhan terbesar yang dikungjungi para saudagar dalam dan luar negeri. Dari sanalah sebagian besar lada dana hasil negeri lainnya diekspor.
Pada masa lalu, banten adalah semacam kota metropolitan. Ia menjadi pusat perkembangan pemerintahan kesultanan banten, yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad. Menurut babad pajajaran, masuknya islam dibanten dimulai ketika Prabu Siliwangi sering melihat cahaya yang menyala-nyala di langit. untuk mencari tahu tentang arti itu, ia mengutus kian Santang, penasehat kerajaan pajajaran yang mengatakan bahwa cahaya di atas banten adalah cahaya islam. Kian Santang pun memeluk islam dan kembali ke pajajaran untuk mengislamkan masyarakat. Upaya kian santang hanya berhasil untuk beberapa orang saja, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya, pajajaran menjadi berantakan.
Pada tahun 1526, gabungan pasukan Demak dan Cirebon bersama dengan laskar marinir maulana Hasanuddin (putra Syarif Hidayatullah) tidak banyak mengalami kesulitan dalam menguasai banten. Bahkan ada yang menyebutkan, Prabu Pucuk Umum menyerahkan banten dengan Sukarela. Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten pun dipindahkan ke Surasowan. Pemindahan pusat pemerintahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir melalui selat sunda dan selat malaka. Hal ini berkaitan pula dengan situasi asia tenggara kala itu. perlu dingat, malaka telah dikuasi portugis, sehingga pedagang yang enggan berhubungan dengan portugis mengalihkan rute niaga ke selat sunda.
Sejak itu, pelabuhan banten semakin ramai. Atas penunjukkan Sultan Demak, pada tahun 1526 maulana Hasanuddin diangkat sebagai Adipati Banten. Di tahun 1552, banten diubah menjadi negara bagian Demak, tetap dengan Maulana Hasanuddin sebagai pemimpinnya. Pada waktu demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan banten sebagai Negara Merdeka.
Sultan maulana Hasanuddin memerintah banten selama 18 tahun (1552 – 1570). Ia telah memberikan andil besar dalam meletakkan fondasi islam di Nusantara. Selain dengan mendirikan masjid dan pesantren, Maulana Hasanuddin juga mengirim ulama ke berbagai daerah yang telah dikuasainya. Usaha penyebarluasan Islam dan pembangunan Banten itu dilanjutkan oleh para penerusnya. Pada masa jayanya, wilayah kekuasaan Kesultanan Banten Meliputi Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tangeran.
Saya sekali kejayaan itu mulai berakhir pada masa sultan Ageng Tirtayasa. Kesultanan Banten mengalami kehancuran Akibat ulah anak kandung Sultan Ageng Sendiri, yaitu sultan Haji. Pada waktu itu, Sultan Haji diserahi amanat oleh ayahnya sebagai sultan muda yang berkedudukan di Surasowan. Namun, sultan haji berdekat-dekat dengan kompeni, bahkan memberi mereka keleluasaan untuk berdagang di pelabuhan banten. Hal itu sangat tidak disukai oleh Sultan Ageng. Hingga akhirnya Sultan Ageng menyerang Istana Surasowan pada 27 Februari 1682. terjadilah perang dasyat , Sultan Ageng Tirtayasa melawan kompeni yang mendukung Sultan Haji. Istana Surasowan mengalami kehancuran pertama akibat perang tersebut.
Meskipun istana Surasowan dibangun kembali dengan megah oleh Sultan haji atas bantuan Arsitek Belanda, namun pemberontakan demi pembrontakan oleh rakyat banten tidak pernah surut. Sultan Ageng Tirtayasa memimpin perang gerilya bersama anaknya yang setia, Pangeran Purbaya, serta Syekh Yusuf, seorang ulama dari Makassar sekaligus menantunya. Akan tetapi, akhirnya Kompeni mengerahkan kekuatan penuh, dan Sultan Ageng dapat dikalahkan.
Setelah kekalahan itu, para pengikut Sultan Ageng Tirtayasa menyebar ke berbagai daerah untuk berdakwah. Syekh Yusuf dibuang ke Srilanka, tempat ia memimpin gerakan perlawan lagi, sebelum akhirnya dibuang ke Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf menyebarkan Islam, sampai wafatnya.
Sementara itu, banten jatuh menjadi boneka belanda. Daendels yang membangun jalan raya Anyer – Panarukan kemudian memindahkan pusat kekuasaan Baten ke Serang. Istana Surosowan ia bakar habis pada 1812. dapat dikatakan, pada tahun itulah Kesultanan Banten runtuh.
Keberadaan dan Kejayaan Kesultanan Banten pada masa lalu dapat dilihat dari peninggalan sejarah, seperti Masjid Agung Banten yang didirikan pada masa pemerintahakan Sultan Maulana Hasanuddin. Arsitektur masjid tersebut merupakan perpaduan antara arsitektur asing dan jawa. Bangunan lain yang membuktikan keberadaan Kesultanan Banten masa lampau adalah bekas istana Surasowan, yang letakkanya berdekatan dengan Masjid Agung Banten. Istana Surasowan yang kini tinggal puing-puing itu dikelilingi oleh tembok benteng yang tebal dengan luas kurang lebih 4 hektare, berbentuk persegi empat panjang. Benteng tersebut kini masih tegak berdiri, di samping beberapa bagian kecil yang telah runtuh.
Dalam situs kepurbakalaan banten, masih ada beberapa bangunan lain, misalnya menara banten, masjid Pacinan Tinggi, Benteng Speelwijk, Meriam Ki Amuk, Watu Gilang, dan pelabuhan perahu karangantu.
Kerajaan mataram berdiri pada tahun 1582. pusat kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Para raja yang pernah memerintah di Kerajaan mataram yaitu penembahan senopati (1584 – 1601), panembahan Seda Krapyak (1601 – 1677).
dalam sejarah islam, Kesultanan mataram memiliki peran yang cukup penting dalam perjalanan secara kerajaan-kerajaan islam di Nusantara (indonesia). Hal ini terlihat dari semangat raja-raja untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengislamkan para penduduk daerah kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan kebudayaan yang bercorak islam di jawa.
Pada awalnya daerah mataram dikuasai kesultanan pajang sebagai balas jasa atas perjuangan dalam mengalahkan Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya menghadiahkan daerah mataram kepada Ki Ageng Pemanahan. Selanjutnya, oleh ki Ageng Pemanahan Mataram dibangun sebagai tempat permukiman baru dan persawahan.
Akan tetapi, kehadirannya di daerah ini dan usaha pembangunannya mendapat berbagai jenis tanggapan dari para penguasa setempat. Misalnya, Ki Ageng Giring yang berasal dari wangsa Kajoran secara terang-terangan menentang kehadirannya. Begitu pula ki Ageng tembayat dan Ki Ageng Mangir. Namun masih ada yang menerima kehadirannya, misalnya ki Ageng Karanglo. Meskipun demikian, tanggapan dan sambutan yang beraneka itu tidak mengubah pendirian Ki Ageng Pemanahan untuk melanjutkan pembangunan daerah itu. ia membangun pusat kekuatan di plered dan menyiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang kehadirannya.
Pada tahun 1575, Pemahanan meninggal dunia. Ia digantikan oleh putranya, Danang Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Di samping bertekad melanjutkan mimpi ayahandanya, ia pun bercita-cita membebaskan diri dari kekuasaan pajang. Sehingga, hubungan antara mataram dengan pajang pun memburuk.
Hubungan yang tegang antara sutawijaya dan kesultanan Pajang akhirnya menimbulkan peperangan. Dalam peperangan ini, kesultanan pajang mengalami kekalahan. Setelah penguasa pajak yakni hadiwijaya meninggal dunia (1587), Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar penembahan Senopati Ing Alaga. Ia mulai membangun kerajaannya dan memindahkan senopati pusat pemerintahan ke Kotagede. Untuk memperluas daerah kekuasaanya, penembahan senopati melancarkan serangan-serangan ke daerah sekitar. Misalnya dengan menaklukkan Ki Ageng Mangir dan Ki Ageng Giring.
Pada tahun 1590, penembahan senopati atau biasa disebut dengan senopati menguasai madiun, yang waktu itu bersekutu dengan surabaya. Pada tahun 1591 ia mengalahkan kediri dan jipang, lalu melanjutkannya dengan penaklukkan Pasuruan dan Tuban pada tahun 1598-1599.
Sebagai raja islam yang baru, panembahan senopati melaksanakan penaklukkan-penaklukan itu untuk mewujudkan gagasannya bahwa mataram harus menjadi pusat budaya dan agama islam, untuk menggantikan atau melanjutkan kesultanan demak. Disebutkan pula dalam cerita babad bahwa cita-cita itu berasal dari wangsit yang diterimanya dari Lipura (desa yang terletak di sebelah barat daya Yogyakarta). Wangsit datang setelah mimpi dan pertemuan senopati dengan penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul, ketika ia bersemedi di Parangtritis dan Gua Langse di Selatan Yogyakarta. Dari pertemuan itu disebutkan bahwa kelak ia akan menguasai seluruh tanah jawa.
Sistem pemerintahan yang dianut kerajaan mataram islam adalah sistem Dewa-Raja. Artinya pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak adaa pada diri sulta. Seorang sultan atau raja sering digambarkan memiliki sifat keramat, yang kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan air muka dan kewibawannya yang tiada tara. Raja menampakkan diri pada rakyat sekali seminggu di alun-alun istana.
Selain sultan, pejabat penting lainnya adalah kaum priayi yang merupakan penghubung antara raja dan rakyat. Selain itu ada pula panglima perang yang bergelar Kusumadayu, serta perwira rendahan atau Yudanegara. Pejabat lainnya adalah Sasranegara, pejabat administrasi.
Dengan sistem pemerintahan seperti itu, Panembahan senopati terus-menerus memperkuat pengaruh mataram dalam berbagai bidang sampai ia meninggal pada tahun 1601. ia digantikan oleh putranya, Mas Jolang atau Penembahan Seda ing Krapyak (1601 – 1613).
Peran mas Jolang tidak banyak yang menarik untuk dicatat. Setelah mas jolang meninggal, ia digantikan oleh Mas Rangsang (1613 – 1645). Pada masa pemerintahannyalah Mataram mearik kejayaan. Baik dalam bidang perluasan daerah kekuasaan, maupun agama dan kebudayaan.
Pangeran Jatmiko atau Mas Rangsang Menjadi raja mataram ketiga. Ia mendapat nama gelar Agung Hanyakrakusuma selama masa kekuasaan, Agung Hanyakrakusuma berhasil membawa Mataram ke puncak kejayaan dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta.
Gelar “sultan” yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja-raja sebelumnya, yaitu panembahan Senopati dan Panembahan Seda Ing Krapyak. Ia dinobatkan sebagai raja pada tahun 1613 pada umur sekitar 20 tahun, dengan gelar “Panembahan”. Pada tahun 1624, gelar “Panembahan"

MENCINTAI AKHIRAT
Duhai orang yang senang memeluk dunia fana,
Yang tak kenal pagi dan sore dalam mencari dunia,
Hendaklah engkau tinggalkan pelukan mesramu,
kepada duniamu itu.
Karena kelak engkau akan berpelukan,
Dengan bidadari di surga.
Apabila engkau harap menjadi penghuni surga abadi,
maka hindarilah jalan menuju api neraka.
RENDAH HATI
Bagaimana mungkin kita dapat sampai ke Sa’ad,
Sementara di sekitarnya terdapat gunung-gunung
dan tebing-tebing.Padahal aku tak beralas kaki,
dan tak berkendaraan.
Tanganku pun kosong dan,
jalan ke sana amat mengerikan.
TENTANG CINTA
Engkau durhaka kepada Allah,
dan sekaligus menaruh cinta kepada-Nya.
Ini adalah suatu kemustahilan.
Apabila benar engkau mencintai-Nya,
pastilah engkau taati semua perintah-Nya.
Sesungguhnya orang menaruh cinta,
Tentulah bersedia mentaati perintah orang yang dicintainya.
Dia telah kirimkan nikmat-Nya kepadamu,
setiap saat dan tak ada rasa syukur,
yang engkau panjatkan kepada-Nya.
KEPUASAN (QANA’AH)
Aku melihat bahwa kepuasan itu pangkal kekayaan,
lalu kupegang erat-erat ujungnya.
Aku ingin menjadi orang kaya tanpa harta,
dan memerintah bak seorang raja.
ANUGRAH ALLAH
Aku melihat-Mu pada saat penciptaanku,
yang penuh dengan anugerah.
Engkaulah sumber satu-satunya,
pada saat penciptaanku.
Hidarkan aku dari anugerah yang buruk.
Karena sepotong kehidupan telah cukup bagiku,
hingga saat Engkau mematikanku.
ahan” diganti menjadi “Susuhunan” atau “Sunan”.
Pada tahun 1641, Agung Hanyakrakusuma menerima pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman.
Karena cita-cita Sultan Agung untuk memerintah seluruh pulau jawa, kerajaan Mataram pun terlibat dalam perang yang berkepanjangan baik dengan penguasa-penguasa daerah, maupun dengan kompeni VOC yang mengincar pulau Jawa.
Pada tahun 1614, sultan agung mempersatukan kediri, pasuruan, lumajang, dan malang. Pada tahun 1615, kekuatan tentara mataram lebih difokuskan ke daerah wirasaba, tempat yang sangat strategis untuk menghadapi jawa timur. Daerah ini pun berhasil ditaklukkan. pada tahun 1616, terjadi pertempuran antara tentara mataram dan tentara surabaya, pasuruan, Tuban, Jepara, wirasaba, Arosbaya dan Sumenep. Peperangan ini dapat dimenangi oleh tentara mataram, dan merupakan kunci kemenangan untuk masa selanjutnya. Di tahun yang sama Lasem menyerah. Tahun 1619, tuban dan Pasuruan dapat dipersatukan. Selanjutnya mataram berhadapan langsung dengan Surabaya. Untuk menghadapi surabaya, mataram melakukan strategi mengepung, yaitu lebih dahulu menggempur daerah-daerah pedalaman seperti Sukadana (1622) dan Madura (1624). Akhirnya, Surabaya dapat dikuasai pada tahun 1625.
Dengan penaklukan-penaklukan tersebut, Mataram menjadi kerajaan yang sangat kuat secara militer. Pada tahun, 1627, seluruh pulau jawa kecuali kesultanan Banten dan wilayah kekuasaan kompeni VOC di Batavia ttelah berhasil dipersatukan di bawah mataram. Sukses besar tersebut menumbuhkan kepercayaan diri sultan agung untuk menantang kompeni yang masih bercongkol di Batavia. Maka, pada tahun 1628, Mataram mempersiapkan pasukan di bawah pimpinan Tumengggung Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-agul, untuk menggempur batavia.
Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan belanda, serangan ini gagal, bahkan tumengggung Baureksa gugur. Kegagalan tersebut menyebabkan matara bersemangat menyusun kekuatan yang lebih terlatih, dengan persiapan yang lebih matang. Maka pada pada 1629, pasukan Sultan Agung kembali menyerbu Batavia. Kali ini, ki ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki Ageng Puger adalah para pimpinannya. Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng Hollandia, Bommel, dan weesp. Akan tetapi serangan ini kembali dapat dipatahkan, hingga menyebabkan pasukan mataram ditarik mundur pada tahun itu juga. Selanjutnya, serangan mataram diarahkan ke blambangan yang dapat diintegrasikan pada tahun 1639.
Di luar peranan politik dan militer, Sultan Agung dikenal sebagai penguasa yang besar perhatiannya terhadap perkembangan islam di tanah jawa. Ia adalah pemimpin yang taat beragama, sehingga banyak memperoleh simpati dari kalangan ulama. Secara teratur, ia pergi ke masjid, dan para pembesar diharuskan mengikutinya. Untuk memperkuat suasana keagamaan, tradisi khitan, memendekkan rambut bagi pria, dan mengenakan tutup kepala berwarna putih, dinyatakan sebagai syariat yang harus ditaati.
Bagi sultan Agung, kerajaan mataram adalah kerajaan islam yang mengemban amanat Tuhan di tanah jawa. Oleh sebab itu, struktur serta jabatan kepenghuluan dibangun dalam sistem kekuasaan kerajaan. Tradisi kekuasaan seperti sholat jumat di masjid, grebeg ramadan, dan upaya pengamanalan syariat islam merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan istana.
Sultan agung juga berprediksi sebagai pujangga. Karyanya yang terkenal yaitu kitab Serat Sastra Gendhing. Adapun kita serat Nitipraja digubahnya pada tahun 1641 M. Serat sastra Gendhing berisi tetang budi pekerti luhur dan keselarasan lahir batin. Serat Nitipraja berisi tata aturan moral, agar tatanan masyarakat dan negara dapat menjadi harmonis. Selain menulis, Sultan Agung juga memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis sejarah babad tanah jawi.
Di antara semua karyanya , peran sultan agung yang lebih membawa pengaruh luas adalah dalam penanggalan. Sultan agung memadukan tradisi pesantren islam dengan tradisi kejawen dalam perhitungan tahun. Masyarakat pesantren biasa menggunakan tahun hijriah, masyarakat kejawen menggunakan tahun Caka atau saka. Pada tahun 1633, Sultan Agung berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh mataram. Perhitungan itu hampir seluruhnya disesuaikan dengan tahun hijriah, berdasarkan perhitungan bulan. Namun, awal perhitungan tahun jawa ini tetap sama dengan tahun saka, yaitu 78 m. Kesatuan perhitungan tahun sangat penting bagi penulisan serat babad. Perubahan perhitungan itu merupakan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan proses pengislaman tradisi dan kebudayaan jawa yang sudah terjadi sejak berdirinya kerajaan demak. Hingga saat ini, sistem penanggalan ala sultan Agung ini masih banyak digunakan.
Sejak masa sebelum sultan Agung pembangunan non-militer memang telah dilakukan. Satu yang layak disebut, panembahan Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatanan gempuran. Setelah zaman senopati, mas jolang juga berjasa dalam kebudayaan, dengan berusaha menyusun sejarah negeri demak, serta menulis beberapa kitap suluk. Misalnya Sulu Wujil (1607 M) yang berisi wejangan Sunan bonang kepada abdi raja majapahit yang bernama Wujil. Pangeran Karanggayam juga menggubah Serat Nitisruti (1612 m) pada masa mas jolang.
Menjelang akhir hayatnya. Sultan Agung menerapkan peraturan yang bertujuan mencegah perebutan tahta, antara keluarga raja dan putra mahkota. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Mataram tidak hanya menjadi pusat kekuasaan, tapi juga menjadi pusat penyebaran islam.
Sultan agung meninggal pada Februari 1646. ia dimakamkan di puncak Bukit Imogiri, Bantul ,Yogyakarta. Selanjutnya, mataram diperintah oleh putranya, Sunan Tegalwangi, dengan gelar Amangkurat I ( 1646 – 1677). Dalam masa pemerintahan Amangkurat I, kerajaan mataram mulai mundur. Wilayah kekuasaan mataram berangsur-angusr menyempit karena direbut oleh kompeni VOC. Yang paling mengenaskan, pada tahun 1675, Rade Trunajaya dari Madura memberontak. Pemberontakannya demikian tak terbendung, sampai-sampai Trunajaya berhasil menguasai keraton Mataram yang waktu itu teletak di Plered. Amangkurat terlunta-lunta mengungsi, dan akhirnya meninggal di Tegal.
Sepeninggal Amangkurat I, Mataram dipegang oleh Amangkurat II yang menurunkan Dinasti Paku Buwana di Solo dan Hamengku Buwana di Yogyakarta. Amangkurat II meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan Trunajaya.
Setelah berakhirnya Perang Giyanti (1755), wilayah kekuasaan mataram semakin terpecah belah. Berdasarkan perjanjian giyanti, mataram dipecah menjadi dua, yakni mataram sukrakarta dan mataram yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813, perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara dan pakualaman. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, keempat pecahan kerajaan mataram ini disebut sebagai vorstenlanden.
Saat ini, keempat pecahan Kesultanan Mataram tersebut masih melanjutkan dinasti masing-masing. Bahkan peran dan pengaruh pecahan mataram tersebut, terutama kesultanan Yogyakarta masih cukup besar dan diakui masyarakat.
artikel di atas merupakan sejarah islam kerajaan mataram
sumber : Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, M. Hariwijaya, S. S., M.S.i.
Demak adalah kesultanan atau kerajaan islam pertama di pulau jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah (1478-1518) pada tahun 1478, Raden patah adalah bangsawan kerajaan Majapahit yang menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara, Demak. Pamor kesultanan ini didapatkan dari Walisanga, yang terdiri atas sembila orang ulama besar, pendakwah islam paling awal di pulau jawa.
Atas bantuan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu menganut islam seperti Jepara, Tuban dan Gresik, Raden patah sebagai adipati Islam di Demak memutuskan ikatan dengan Majapahit saat itu, Majapahit memang tengah berada dalam kondisi yang sangat lemah. Dengan proklamasi itu, Radeh Patah menyatakan kemandirian Demak dan mengambil gelar Sultan Syah Alam Akbar.
Pada awal abad ke 14, Kaisar Yan Lu dari Dinasti Ming di China mengirimkan seorang putri kepada raja Brawijaya V di Majapahit, sebagai tanda persahabatan kedua negara. Putri yang cantik jelita dan pintar ini segera mendapat tempat istimewa di hati raja. Raja brawijaya sangat tunduk kepada semua kemauan sang putri jelita, hingga membawa banyak pertentangan dalam istana majapahit. Pasalnya sang putri telah berakidah tauhid. Saat itu, Brawijaya sudah memiliki permaisuri yang berasal dari Champa (sekarang bernama kamboja), masih kerabat Raja Champa.
Sang permaisuri memiliki ketidak cocokan dengan putri pemberian Kaisar yan Lu. Akhirnya dengan berat hati raja menyingkirkan putri cantik ini dari istana. Dalam keadaan mengandung, sang putri dihibahkan kepada adipati Pelembang, Arya Damar. Nah di sanalah Raden Patah dilahirkan dari rahim sang putri cina.
Nama kecil raden patah adalah pangeran Jimbun. Pada masa mudanya raden patah memperoleh pendidikan yang berlatar belakang kebangsawanan dan politik. 20 tahun lamanya ia hidup di istana Adipati Palembang. Sesudah dewasa ia kembali ke majapahit.
Raden Patah memiliki adik laki-laki seibu, tapi beda ayah. Saat memasuki usia belasan tahun, raden patah bersama adiknya berlayar ke Jawa untuk belajar di Ampel Denta. Mereka mendarat di pelabuhan Tuban pada tahun 1419 M.
Patah sempat tinggal beberapa lama di ampel Denta, bersama para saudagar muslim ketika itu. Di sana pula ia mendapat dukungan dari utusan Kaisar Cina, yaitu laksamana Cheng Ho yang juga dikenal sebagai Dampo Awang atau Sam Poo Tai-jin, seorang panglima muslim.
Raden patah mendalami agama islam bersama pemuda-pemuda lainnya, seperti raden Paku (Sunan Giri), Makhdum ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kosim (Sunan Drajat). Setelah dianggap lulus, raden patah dipercaya menjadi ulama dan membuat permukiman di Bintara. Ia diiringi oleh Sultan Palembang, Arya Dilah 200 tentaranya. Raden patah memusatkan kegiatannya di Bintara, karena daerah tersebut direncanakan oleh Walisanga sebagai pusat kerajaan Islam di Jawa.
Di Bintara, Patah juga mendirikan pondok pesantren. Penyiaran agama dilaksanakan sejalan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Perlahan-lahan, daerah tersebut menjadi pusat keramaian dan perniagaan. Raden patah memerintah Demak hingga tahun 1518, dan Demak menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa sejak pemerintahannya.
Secara beruturut-turut, hanya tiga sultan Demak yang namanya cukup terkenal, Yakni Raden Patah sebagai raja pertama, Adipati Muhammad Yunus atau Pati Unus sebagai raja kedua, dan Sultan Trenggana, saudara Pati Unus, sebagai raja ketiga (1524 – 1546).
Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, diantaranya adalah perluasan dan pertahanan kerajaan, pengembangan islam dan pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa).
Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia melanklukkan Girindra Wardhana yang merebut tahkta Majapahit (1478), hingga dapat menggambil alih kekuasaan majapahit. Selain itu, Patah juga mengadakan perlawan terhada portugis, yang telah menduduki malaka dan ingin mengganggu demak. Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati Unus atau Adipati Yunus atau Pangeran Sabrang Lor (1511), meski akhirnya gagal. Perjuangan Raden Patah kemudian dilanjutkan oleh Pati Unus yang menggantikan ayahnya pada tahun 1518.
Dalam bidang dakwah islam dan pengembangannya, Raden patah mencoba menerapkan hukum islam dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, ia juga membangun istana dan mendirikan masjid (1479) yang sampai sekarang terkenal dengan masjid Agung Demak. Pendirian masjid itu dibantu sepenuhnya oleh walisanga.
Di antara ketiga raja demak Bintara, Sultan Trenggana lah yang berhasil menghantarkan Kusultanan Demak ke masa jayanya. Pada masa trenggan, daerah kekuasaan demak bintara meliputi seluruh jawa serta sebagian besar pulau-pulau lainnya. Aksi-aksi militer yang dilakukan oleh Trenggana berhasil memperkuat dan memperluas kekuasaan demak. Di tahun 1527, tentara demak menguasai tuban, setahun kemudian menduduki Wonosari (purwodadi, jateng), dan tahun 1529 menguasai Gagelang (madiun sekarang). Daerah taklukan selanjutnya adalah medangkungan (Blora, 1530), Surabaya (1531), Lamongan (1542), wilayah Gunung Penanggungan (1545), serta blambangan, kerajaan hindu terakhir di ujung timur pulau jawa (1546).
Di sebelah barat pulau jawa, kekuatan militer Demak juga merajalela. Pada tahun 1527, Demak merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran (kerajaan Hindu di Jawa Barat), serta menghalau tentara tentara portugis yang akan mendarat di sana. Kemudian, bekerja sama dengan saudagar islam di Banten, Demak bahkan berhasil meruntuhkan Pajajaran. Dengan jatuhnya Pajajaran, demak dapat mengendalikan Selat Sunda. Melangkah lebih jauh, lampung sebagai sumber lada di seberang selat tersebut juga dikuasai dan diislamkan. Perlu diketahui, panglima perang andalan Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana.
Di timur laut, pengaruh demak juga sampai ke Kesultanan banjar di kalimantan. Calon pengganti Raja Banjar pernah meminta agar sultan Demak mengirimkan tentara, guna menengahi masalah pergantian raja banjar. Calon pewaris mahkota yang didukung oleh rakyat jawa pun masuk islam, dan oleh seorang ulama dari Arab, sang pewaris tahta diberi nama Islam. Selama masa kesultanan Demk, setiap tahun raja Banjar mengirimkan upeti kepada Sultan Demak. Tradisi ini berhenti ketika kekuasaan beralih kepada Raja Pajang.
Di masa jayanya, Sultan Trenggana berkunjung kepada Sunan Gunung Jati. Dari Sunan gunung jati, Trenggana memperoleh gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Gelar Islam seperti itu sebelumnya telah diberikan kepada raden patah, yaitu setelah ia berhasil mengalahkan Majapahit.
Trenggana sangat gigih memerangi portugis. Seiring perlawanan Demak terhadap bangsa portugis yang dianggap kafir. Demak sebagai kerajaan islam terkuat pada masanya meneguhkan diri sebagai pusat penyebaran Islam pada abad ke 16.
Sultan Trenggan meninggal pada tahn 1546, dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuran. Ia kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Setelah sultan trenggana mengantar Demak ke masa jaya, keturunan sultan tersebut silih berganti berkuasa hingga munculnya kesultanan pajang.
Masjid agung Demak sebagai lambang kekuasaan bercorak Islam adalah sisi tak terpisahkan dari kesultanan Demak Bintara. Kegiatan walisanga yang berpusat di Masjid itu. Di sanalah tempat kesembilan wali bertukar pikiran tentang soal-soal keagamaan.
Masjid demak didirikan oleh Walisanga secara bersama-sama. Babad demak menunjukkan bahwa masjid ini didirikan pada tahun Saka 1399 (1477) yang ditandai oleh candrasengkala Lawang Trus Gunaning Janma, sedangkan pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri pada tahun 1479.
Pada awalnya, majid agung Demak menjadi pusat kegiatan kerajaan islam pertama di jawa. Bagunan ini juga dijadikan markas para wali untuk mengadakan Sekaten. Pada upacara sekaten, dibunyikanlah gamelan dan rebana di depan serambi masjid, sehingga masyarakat berduyun-duyun mengerumuni dan memenuhi depan gapura. Lalu para wali mengadakan semacam pengajian akbar, hingga rakyat pun secara sukarela dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat.
Cepatnya kota demak berkembang menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat kegiatan pengislaman tidak lepas dari andil masjid Agung Demak. Dari sinilah para wali dan raja dari Kesultanan Demak mengadakan perluasan kekuasaan yang dibarengi oleh kegiatan dakwah islam ke seluruh Jawa.
referensi : Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, M. Hariwijaya, S. S., M.S.i.

Perkembangannya Ahl al-Sunnah

Perkembangannya Ahl al-Sunnah

Ahlus-Sunnah pada masa kekuasaan Bani Umayyah masih dalam keadaan mencari bentuk, hal ini dapat dilihat dengan perkembangan empat mazhab yang ada di tubuh Sunni. Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, hidup pada masa perkembangan awal kekuasaan Bani Abbasiyah.
Mazhab / aliran Fikih

Terdapat empat mazhab yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. Di dalam keyakinan sunni empat mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti. Perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat fundamental. Perbedaan mazhab bukan pada hal Aqidah (pokok keimanan) tapi lebih pada tata cara ibadah. Para Imam mengatakan bahwa mereka hanya ber-ijtihad dalam hal yang memang tida ada keterangan tegas dan jelas dalam Alquran atau untuk menentukan kapan suatu hadis bisa diamalkan dan bagaimana hubungannya dengan hadis-hadis lain dalam tema yang sama. Mengikuti hasil ijtihad tanpa mengetahui dasarnya adalah terlarang dalam hal akidah, tetapi dalam tata cara ibadah masih dibolehkan, karena rujukan kita adalah Rasulullah saw. dan beliau memang tidak pernah memerintahkan untuk beribadah dengan terlebih dahulu mencari dalil-dalilnya secara langsung, karena jika hal itu wajib bagi setiap muslim maka tidak cukup waktu sekaligus berarti agama itu tidak lagi bersifat mudah.
Hanafi

Mazhab Hanafi
Didirikan oleh Imam Abu Hanifah, Mazhab Hanafi adalah yang paling dominan di dunia Islam (sekitar 32%), penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa), Mesir bagian Utara, separuh Irak, Syria, Libanon dan Palestina (campuran Syafi'i dan Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan)
Maliki

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mazhab Maliki
Didirikan oleh Imam Malik, diikuti oleh sekitar 20% muslim di seluruh dunia. Mazhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara.Mazhab ini memiliki keunikan dengan menyodorkan tatacara hidup penduduk madinah sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad hijrah, hidup dan meninggal di sana dan kadang-kadang kedudukannya dianggap lebih tinggi dari hadits.
Syafi'i

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mazhab Syafi'i
Dinisbatkan kepada Imam Syafi'i memiliki penganut sekitar 28% muslim di dunia. Pengikutnya tersebar di Turki, Irak, Syria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Sri Lanka dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.
Hambali

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mazhab Hambali
Dimulai oleh para murid Imam Ahmad bin Hambal. Mazhab ini diikuti oleh sekitar 5% muslim di dunia dan dominan di daerah semenanjung Arab. Mazhab ini merupakan mazhab yang saat ini dianut di Arab Saudi.

Sejarah Ahlus-Sunnah wal Jama'ah

Sejarah Ahlus-Sunnah wal Jama'ah

Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama'ah ( أهل السنة والجماعة) atau lebih sering disingkat Ahlul-Sunnah ( أهل السنة) atau Sunni adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.
Terminologi

Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah (Sunnah kependekan dari kata Sunnaturrasul, berasal dari kata sunan yang artinya garis) dalam Islam mengacu kepada sikap, tindakan, ucapan dan cara Rasulullah menjalani hidupnya atau garis-garis perjuangan / tradisi yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Sunnah merupakan sumber hukum kedua dalam Islam, setelah Al-Quran. Narasi atau informasi yang disampaikan oleh para sahabat tentang sikap, tindakan, ucapan dan cara Rasulullah disebut sebagai hadits. Sunnah yang diperintahkan oleh Allah disebut Sunnatullah.)

Sunnatullah berarti tradisi Allah dalam melaksanakan ketetapanNya sebagai Rabb yang terlaksana di alam semesta atau dalam bahasa akademis disebut hukum alam. Sunnah atau ketetapan Allah antara lain:

Selalu ada dua kondisi saling ekstrem (surga-neraka, benar-salah, baik-buruk)
Segala sesuatu diciptakan berpasangan (dua entitas atau lebih). Saling cocok maupun saling bertolakan.
Selalu terjadi pergantian dan perubahan antara dua kondisi yang saling berbeda.
Perubahan, penciptaan maupun penghancuran selalu melewati proses.
Alam diciptakan dengan keteraturan.
Alam diciptakan dalam keadaan seimbang.
Alam diciptakan terus berkembang.
Setiap terjadi kerusakan di alam manusia, Allah mengutus seorang utusan untuk memberi peringatan atau memperbaiki kerusakan tersebut.

Dan berpegang teguh dengannya dalam seluruh perkara yang Rasulullah berada di atasnya dan juga para sahabatnya. Oleh karena itu Ahlus Sunnah yang sebenarnya adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat.

PENGAJIAN BERSAMA BUYA YAHYA

Foto: ‎Selasa tgl. 11 Ramadhan 1433 H / 31 Juli 2012

بِِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ, الَّذِيْ أَكْرَمَنَا بِشَهْرِ رَمَضَانَ, الَّذِيْ جَعَلَنَا مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ وَالْقِيَامِ, وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَفْضَلِ الصَّائِمِيْنَ وَأَحْسَنِ الْقَائِمِيْنَ. حَبِيْبِنَا وَشاَفِعِنَا وَمَوْلاَناَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.  أَمَّا بَعْدُ

ULASAN PENGAJIAN AT-TIBYAN BERSAMA BUYA YAHYA

PASAL
Fis Tihbabi Thalabul Qira’atit Thoyyibati Min Husnis Shouti
Disunnahkannya Meminta Bacaan Yang Indah Dari Orang Yang Suaranya Bagus

    Ketahuilah sesungguhnya sekelompok dari Ulama’ generasi Salaf  meminta orang yang ahli membaca  Al-Qur’an dengan suara yang bagus untuk membaca dan mereka mendengarkannya, dan ini sudah menjadi kesepakatan akan kesunnahannya, ini adalah kebiasannya orang-orang yang baik, rajin ibadah dan hamba-hamba yang Sholeh dan hal ini adalah Sunnah yang sudah menjadi ketetapan dari Rasulullah SAW, disebutkan dalam hadits :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِقْرَأْ عَلَيَّ الْقُرْآنَ, فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ! أَقْرَأُ عَلَيْكَ, وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟ قَالَ : إِنِّيْ أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِيْ, فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُوْرَةَ (النِّسَاءِ) حَتَّى إِذَا جِئْتُ إِلَى هَذِهِ اْلأَيَةِ : (فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيْدًا) – النِّسَاءُ : 41- قاَلَ حَسْبُكَ اْلآنَ فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Dari Abdullah Bin Mas’ud ra beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda kepadaku “Bacakanlah Al-Qur’an kepadaku! Aku berkata : Ya Rasulallah, (bagaimana) aku membacakan Al-Qur’an kepadamu sedangkan Al-Qur’an tersebut diturunkan kepadamu?, Rasulullah SAW bersabda “Sungguh aku lebih senang mendengar Al-Qur’an dari selainku”, kemudian aku membacakannya Surat An-Nisa’ sampai pada ayat :

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيْدًا - النِّسَاءُ : 41

“Maka bagaimana ketika suatu saat nanti (di hari Qiyamat) kami datangkan saksi dari semua Umat Kemudian aku datangkan engkau sebagai saksi bagi mereka (Umatmu)”. QS. AN-Nisa’ : 41, setelah itu Rasulullah SAW bersabda “Sekarang sudah cukup”, kemudian aku menoleh kepada beliau dan aku lihat matanya berlinangan air mata. HR Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim

Yang dimaksud dengan Saksi : Yakni Nabi-Nabi mereka, dan setiap Nabi berkata  “Ini Umatku maka selamatkan ya Allah”, begitu juga hal ini terjadi pada Nabi Muhammad dan ceritanya di sini sangat panjang untuk disebut, di saat Umat manusia dikumpulkan di padang Mahsyar semuanya berbondong-bondong minta pertolongan, ada yang datang ke Nabi Adam tapi beliau menolak, kemudian Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi Musa dan Nabi Isa juga menolak, akhirnya mereka semua menuju Nabi Muhammad, dan di sini ada yang namanya Syafa’at yakni pertolongan Nabi Muhammad untuk Umatnya, dan tidak semua yang mengaku Umatnya Nabi Muhammad mendapatkan Syafa’atnya, hanya yang mengenalnya dengan sesungguhnya dan mengenal dengan hatinya maka ia akan mendapatkan Syafa’atnya. Tentu yang mengenalnya dengan sesungguhnya akan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.


وَرَوَى الدَّارِمِيُّ وَغَيْرُهُ بِأَسَانِيْدَهُمْ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ لِأَبِيْ  مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ : ذَكِّرْنَا رَبَّنَا فَيَقْرَأُ عِنْدَهُ

Imam Ad-Darimi dan yang lainnya meriwayatkan dengan sanad-sanadnya dari Sayyidina Umar Bin Al-Khoththob, sesungguhnya beliau berkata kepada Abu Musa Al-Asy’ari : “Ingatkanlah kami kepada Tuhan kami!” maka Abu Musa membacakan di sampingnya.

Adapun riwayat dari Sahabat dan Tabi’in dalam masalah ini sangat banyak dan terkenal, bahkan ada sebagian dari mereka yang meninggal disebabkan (terenyuh) mendengar bacaan orang yang telah mereka minta untuk membacakannya, Wallahu A’lam.

Sebagian Ulama’ menganjurkan di pembukaan Majelis Hadits Nabi Muhammad SAW untuk dibuka dan ditutup dengan bacaan yang ringan (sedikit) dari seorang Qori’ yang suaranya bagus, dan hendaknya seorang Qori’ membaca ayat yang pantas dan cocok dengan kajian majelis tersebut (Seperti ketika acara perayaan Isra Mi’raj membaca ayat pertama surat Al-Isra dll), dan hendaknya bacaanya tersebut berkenaan dengan hal-hal berikut ini :
1. Raja’ (hal-hal berharap pada Allah).
2. Khouf (hal-hal yang membuat takut kepada Allah).
3. Nasehat.
4. Hal-hal yang membuat orang tidak cinta dunia (Zuhud).
5. Hal-hal yang membuat rindu kepada akhirat dan mempersiakan diri untuk akhirat.
6. Hal-hal yang memperpendek angan-angan (hidup nyaman dan lama di dunia).
7. Berkenaan dengan akhlaq-akhlaq yang terpuji dan mulia.

PASAL

    Hendaknya bagi orang yang memulai bacaannya atau berhenti dari pertengahan Surat tidak pada akhirnya (tanda Waqof atau ayat), maka hendaknya ia memulai dari awal ayat yang masih nyambung dengan setelahnya dan berhenti pada ayat yang berhubungan dengan ayat sebelumnya dan jangan sampai terikat dengan A’syar (pembagian Al-Qur’an pada setiap beberapa bagian dan halaman) dan juz sebab terkadang A’syar atau juz tersebut berada di pertengahan ayat yang masih mempunyai hubungan dengan ayat setelahnya seperti ayat-ayat berikut ini :
 

وَالْمُحْصَنَاتِ مِنَ النِّسَاءِ – النِّسَاءُ : 24
“Dan orang-orang yang terjaga dari kaum wanita”. QS. An-Nisa’ : 24

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِيْ – يُوْسُفُ : 53
“Dan Aku tidak akan membiarkan nafsuku”. QS. Yusuf : 53  

فَمَا كَانَ جَوَابُ قَوْمِهِ – النَّحْلُ : 56
“Maka tiada jawaban kaumnya”. QS. An-Nahl: 56  

وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْ كُنَّ لِلَّهِ وَلِرَسُوْلِهِ – اْلأَحْزَابُ : 31
“Dan barang siapa yang taat di antara mereka kepada Allah dan Rasul-Nya”.  QS. Al-Ahzab : 31

وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى قَوْمِهِ مِنْ بَعْدِهِ مِنْ جُنْدٍ مِنَ السَّمَاءِ – يس : 28
“Dan kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) satu pasukanpun dari langit”. QS. Yasin : 28

إِلَيْهِ يُرَدُّ عِلْمُ السَّاعَةِ – فُصِّلَتْ : 47
“Kepada-Nyalah pengetahuan tentang Qiyamat itu dikembalikan”. QS. Fushshilat : 47

وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوْا – الزُّمَرُ : 48
“Dan telah jelas bagi mereka keburukan-keburukan yang mereka perbuat”. QS. Az-Zumar : 48

فَمَا خَطْبُكُمْ أَيُّهَا الْمُرْسَلِوْنَ – الذًَارِيَاتُ : 31
“Maka apakah urusanmu wahai para utusan?”. QS. Adz-Dzariyat: 31

Begitu juga firman Allah pada pembagian Hizib (pembagian Al-Qur’an pada setiap beberapa halaman) seperti :

وَاذْكُرُوْا اللهَ فِيْ أَيَّامِ مَعْدُوْدَاتٍ – الْبَقَرَةُ : 203
“Dan berdzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang sudah ditentukan jumlahnya”.
QS. Fushshilat : 47

قُلْ أَأُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ – آلِ عِمْرَانَ : 15
“Katakanlah (wahai Muhammad) maukah kalian aku kabarkan dengan yang lebih baik dari hal itu”. QS. Ali Imran : 15


    Maka semua ayat tersebut di atas dan ayat yang menyerupainya hendaknya ketika membaca jangan dimulai atau berhenti (waqof) pada ayat-ayat tersebut sebab ayat-ayat tersebut masih ada kaitannya dengan ayat yang sebelumnya, dan jangan sampai tertipu karena banyaknya orang-orang yang lalai kepada Al-Qur’an dengan cara bacanya orang-orang yang tidak menjaga adab-adab ini dan mereka tidak pernah memikirkan tentang makna-maknanya.

    Hendaknya seseorang yang membaca Al-Qur’an itu melakukan apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim yaitu Abu Abdillah dengan sanad-sanadnya dari Al-Fudhoil Bin ‘Iyadh ra beliau berkata :

لاَتَحْتَوْحِشْ طُرُقَ الْهُدَى لِقِلَّةِ أَهْلِهَا, وَلاَتَغْتَرَنَّ بِكَثْرَةِ الْهَالِكِيْنَ, وَلاَيَضُرُّ قِلَّةُ السَّالِكِيْنَ

“Janganlah engkau merasa tidak enak menuju jalan-jalan Hidayah (kebenaran) karena sedikit orang yang menempuhnya, dan jangan sampai engkau tertipu dengan banyaknya orang yang hancur (yakni orang-orang yang tidak mengindahkan kaidah tajwid dalam membaca Al-Qur’an) dan tidak akan ada pengaruhnya sama sekali karena sedikitnya orang menempuh jalan kebaikan”.
    
    Maka dari itu Ulama’ berkata :

قِرَاءَةُ سُوْرَةٍ قَصِيْرَةٍ بِكَمَالِهَا أََفْضَلُ مِنْ قِرَاءَةِ بَعْضِ سُوْرَةٍ طَوِيْلَةٍ بِقَدْرِ الْقَصِيْرَةِ, فَإِنَّهُ قَدْ يُخْفَى اْلاِرْتِبَاطُ عَلَى بَعْضِ النَّاسِ فِيْ بَعْضِ اْلأَحْوَالِ.

“Membaca Surat yang pendek sampai selesai itu lebih utama dari pada membaca sepenggal Surat panjang yang kadar (lama/jumlah ayatnya) sama dengan Surat yang pendek, sebab terkadang makna yang masih ada kaitannya tersembunyi bagi orang yang membaca tersebut dalam beberapa keadaan”.

    Ibnu Abi Daud meriwayatkan dengan sanadnya  dari Abdullah Bin Abi Al-Hudzail At-tabi’i yang masyhur  ra beliau berkata :

كَانُوْا يَكْرَهُوْنَ أَنْ يَقْرَءُوْا بَعْضَ اْلأَيَةِ وَيَتْرَكُوْنَ بَعْضَهَا.
“Mereka tidak senang membaca sepenggal ayat dan meninggalkan ayat yang lain”.


PASAL
Fi Ahwalin Tukrahu Fiha Al-Qira’atu
Keadaan-keadaan Dimakruhkannya Membaca Al-Qur’an

    Ketahuilah bahwasannya membaca Al-Qur’an itu sangat dicintai (yakni sangat dianjurkan) secara mutlak, kecuali dalam beberapa keadaan khusus yang memang dilarang oleh Syariat membaca di waktu tersebut, adapun yang akan kami hadirkan pada kesempatan kali ini secara ringkas dengan tidak menyebutkan dalil-dalilnya  sebab hal ini sudah sangat masyhur.
    
Adapun membaca Al-Qur’an yang dimakruhkan adalah di beberapa keadaan berikut ini :
1.    Di waktu Ruku’
2.    Di waktu Sujud
3.    Di waktu Tasyahhud
4.    Di semua keadaan selain di waktu berdiri saat Sholat
5.    Membaca Al-Qur’an selain Surat Al-Fatihah pada Sholat yang bacaannya dikeraskan bagi makmum yang masih bisa mendengar bacaan Imamnya
6.    Membaca Al-Qur’an di WC, dan menjadi haram ketika membacanya bersamaan dengan keluarnya sesuatu dari jalan depan/belakang
7.    Di saat mengantuk
8.    Di saat Al-Qur’an tidak nampak jelas di pandangannya, (dikhawatirkan salah dalam membacanya)
9.    Di saat mendengar Khutbah, berbeda dengan orang yang tidak mendengar suara Khotibnya (seperti tidak ada pengeras suara, atau pengeras suaranya mati dan lain sebagainya) bahkan ia disunnahkan untuk membaca Al-Qur’an, inilah yang dipilih dan yang benar dalam Madzhab Syafi’i, akan tetapi ada riwayat dari Imam Thowus bahwasannya membaca Al-Qur’an di waktu Khotib berkhutbah adalah makruh walaupun ia tidak mendengarnya namun menurut Ibrahim tetap tidak makruh, maka boleh juga mengumpulkan 2 pendapat ini berdasarkan apa yang kami katakan seperti yang disebutkan oleh Ulama’-Ulama’ madzhab Syafi’i.

Adapun membaca Al-Qur’an di saat berthowwaf itu tidak makruh menurut Madzhab Syafi’i dan ini juga menjadi keputusan kebanyakan Ulama’, dan Ibnu Mundzir menceritakan hal tadi dari Atho’, Mujahid, Ibnul Mubarak, Abu Tsaur dan para Ulama’ yang lebih mengedepankan pemikirannya (kebanyakan ini adalah Ulama’ madzhab Hanafi). Telah diceritakan dari Hasan Al-Bashri, Urwah Bin Az-Zubair dan Malik bahwasannya Membaca Al-Qur’an di waktu berthowwaf adalah makruh, akan tetapi yang benar adalah yang pertama yaitu tidak makruh.

Adapun hukum membaca Al-Qur’an di kamar mandi, di jalan, dan orang yang di mulutnya ada najis telah kami sebutkan penjelasan tentang perbedaan pendapat dalam hal tersebut di awal yaitu :
a. Hukum membaca Al-Qur’an di kamar mandi :
1.    Ulama’ Madzhab Syafi’i mengatakan  tidak makruh, di antara mereka adalah : Abu Bakar Bin Mundzir dari Ibrahim An-Nakho’i dan Malik dan sekaligus ini juga pendapatnya Atho’.
2.    Imam Ali Bin Abi Tholib ra mengatakan makruh, hal ini diceritakan oleh Ibnu Abi Daud begitu juga Ibnu Al-Mudzir dari sekelompok orang dari generasi Tabi’in di antara mereka adalah : Abu Wa’il Syaqiq Ibn Salamah, Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, Makhul, Qubaishoh Bin Dzuab begitu juga riwayat dari Ibrahim An-Nakho’i dan riwayat dari Imam Abu Hanifah.
b. Hukum membaca Al-Qur’an di jalan itu boleh-boleh saja dan tidak makruh.
c. Hukum membaca Al-Qur’an ketika ada darah di mulutnya adalah Makruh, hendaknya ia menunggu terlebih dahulu sampai darahnya berhenti dan disucikan kemudian bacaannya dilanjutkan lagi.

Pelajaran Yang Bisa Kita Ambil

1.    Disunnahkan meminta orang yang suaranya bagus membaca Al-Qur’an untuk dirinya, hal ini dimaksudkan agar orang yang mendengarnya itu lebih menghayati isi bacaan tersebut.

2.    Ulama’ menganjurkan untuk membuka dan menutup majelis ta’lim dengan pembacaan Ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan tema yang sedang dibahas.

3.    Hendaknya membaca Al-Qur’an dimulai dari kalimat yang masih berkesinambungan, dan hendaknya tidak berhenti pada kalimat yang makna atau susunananya masih belum sempurna dengan kata lain hendaknya berhenti pada kalimat yang sudah sempurna makna dan susunannya begitu juga hendaknya berhenti  di tanda waqof atau pemberhentian ayat.

4.    Hendaknya ketika membaca Al-Qur’an mengindahkan adab-adabnya, sebisa mungkin direnungi maknanya sehingga ketika mau berhenti bisa berhenti pada kalimat yang sudah sempurna maknanya dan jangan ikut-ikutan orang yang salah dalam hal ini.

5.    Jangan malu menempuh jalan kebenaran, walaupun yang menempuhnya hanya sedikit, dan jangan tertipu pada sesuatu yang banyak dilakukan oleh orang akan tetapi hal tersebut pada kenyataannya adalah salah atau tidak baik.

6.    Membaca satu Surat pendek sampai selesai itu lebih bagus dari pada membaca sepenggal Surat yang panjang walaupun dengan kadar waktu yang sama dan dengan jumlah ayat yang sama, sebab dengan membaca satu Surat sampai selesai tidak ada satupun maknanya yang tersembunyi walaupun Surat tersebut itu pendek berbeda ketika seseorang membaca hanya sepenggal Surat yang panjang namun tidak sampai selesai maka masih ada kemungkinan maksud dan tujuan serta makna ayat dari Surat tersebut belum tersingkap atau masih tersembunyi.

7.    Hukum asal membaca Al-Qur’an adalah sunnah akan tetapi ada beberapa keadaan yang makruh untuk membacanya yaitu : di  waktu Ruku’, Sujud, I’tidal, Tasyahhud, di waktu berdiri pada rakaat ke 3 dan ke 4, pada saat mendengar bacaan Imam pada Sholat yang bacaannya dikeraskan seperti Sholat Isya’, Sholat Magrib, Sholat Shubuh, Sholat Jum’at, Sholat ‘Id dll, kemudian di waktu duduk di WC akan tetapi akan menjadi haram ketika ada sesuatu yang keluar dari jalan depan/belakang, ketika mengantuk, ketika melihat Al-Qur’an sudah tidak jelas, begitu juga ketika ada darah di mulutnya, ketika mendengarkan Khutbah, berbeda ketika khutbahnya tidak kedengaran maka tetap disunnahkan membaca Al-Qur’an. Adapun membacanya di waktu berthowwaf adalah tidak dimakruhkan dalam Madzhab Syafi’i.
.

Forum Tanya Jawab

1.    Disebutkan dalam hadits bahwasannya mengingatkan seseorang ketika Khotib sedang berkhutbah maka ia sudah termasuk Lagho sedangakan orang yang Lagho tidak mendapatkan pahala keutamaan jum’atan, nah bagaimana dengan bacaan Al-Qur’an itu sendiri ketika Khotib sedang berkhutbah apakah termasuk Lagho?

Jawab :

Di saat Khutbah Imam tidak terdengar maka dihimbau untuk berdzikir atau membaca Al-Qur’an akan tetapi jangan sampai mengangkat suaranya, nah bagi Khotib ada hal yang perlu diperhatikan yaitu :

Hendaknya seorang Khotib itu tempatnya agak tinggi sehingga suaranya terdengar oleh jama’ah jum’at, suatu saat Rasulullah berkhutbah di padang pasir beliau naik ke atas kuda Karena banyaknya jama’ah supaya tidak ada fitnah sehingga suranya terdengar jelas, kemudian adanya himbauan bagi Khotib untuk melantangkan suaranya agar jama’ah dapat mendengar khutbah yang disampaikan.

Di samping itu ada perbedaan ‘ulama ketika berbicara pada waktu khotib sedang naik mimbar, di antaranya Madzhab Abu Hanifah, Madzhab Malik, Madzhab Ahmad mereka mengatakan haram mengangkat suara ketika khotib sedang berkhutbah. Namun di dalam Madzhab Imam Syafi’i tidak haram, akan tetapi dapat menyebabkan hilangnya keutamaan pada saat khutbah jum’at. Dan dihimbau agar untuk tetap tidak berbicara yang tidak ada manfaatnya, dan ketika tidak terdengar maka sunnah baginya untuk tetap berdzikir.
Hujjah Madzhab Syafi’i adalah suatu saat Rasulullah SAW khutbah jum’at tentang dahsyatnya hari Kiamat sampai sahabat banyak yang menangis mendengarnya, kemudian ada seorang Badui berdiri dan bertanya kepada Rasulullah SAW.

Sahabat                 : Kapan datangnya hari kiamat yaa Rasulullah?
Rasulullah SAW   : Apa yang engkau persiapkan untuk hari kiamat?
Sahabat                 : Aku tidak mempersiapkan apa-apa melainkan cinta kepada Allah dan  rasul-Nya.
Rasulullah SAW   : Engkau bersama orang yang engkau cintai.

Jadi Madzhab Syafi’i tidak menyatakan haram berbicara ketika Khotib sedang berkhutbah, sedangkan yang menyatakan haram adalah Madzhab lain, hal ini berdasarkan riwayat di atas, Rasulullah SAW bukan menegur orang yang berbicara akan tetapi malah menjawabnya hal menunjukkan tidak Haram.


2.    Seorang wanita tidak boleh membaca Al-Qur’an dilagukan di muka umum, bagaimana dengan peserta MTQ?

Jawab :

Bagi Qori’ah (wanita yang mahir dan bagus bacaannya), kami harap para Qori’ah memperhatikan adab-adab membaca yang benar, jangan sampai seorang Qori’ah melantunkan ayat dengan melagukannya di hadapan lelaki Ajnabi (bukan mahromnya) dan ini tidak diperkenankan oleh Syariat. Seorang Qori’ah boleh melantunkan Ayat Al-Qur’an dengan mendayu-dayu untuk dirinya sendiri, suaminya, keluarganya dan di hadapan para wanita lainnya, yang tidak boleh adalah di hadapan lelaki yang bukan mahromnya.
Memang suara wanita bukanlah Aurat dalam Madzhab kita Imam Syafi’i, akan tetapi permasalahannya Al-Qur’an berbeda dengan sekedar ucapan, sebab Al-Qur’an wajib didengar, makanya tidak diperkenankan bagi seorang wanita membaca dengan dilagukan di hadapan laki-laki yang bukan mahrom.
Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an :

يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Wahai istri-istri nabi, kalian tidak sama dengan wanita-wanita yang lain, jika kalian  bertakwa  maka janganlah  kalian  melembutkan  suara  dalam  berbicara sehingga  timbullah  keingin  orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
Untuk suara yang meliuk-liukkan sampai melanggar kaidah Tajwid tetap haram bagi perempuan maupun laki-laki, bahkan yang mendengarpun juga ikut haram. Inilah yang disampaikan Imam An-Nawawi rahimahullahu ta’ala. Akan tetapi ketika seorang wanita membaca Al-Qur’an dapat menimbulkan fitnah maka itulah yang haram, karena Al-Qur’an memerintahkan bagi orang yang dibacakan Al-Qur’an untuk mendengarkan dan memperhatikannya, sehingga secara tidak langsung pendengar harus benar-benar menyimak apa-apa yang dibaca oleh seorang wanita tersebut.  Kemudian Ulama’ membahas masalah wanita yang membaca Nasyid/Qosidah bersama-sama sehingga tidak keciri suaranya satu sama lain maka tidak jadi masalah, atau seperti tujuannya untuk dakwah, contoh : di suatu kampung kalau ibu-ibunya tidak membaca Nasyid/Qosidah tidak banyak yang datang akan tetapi bacanya harus bersama-sama maka itu tidak menjadi masalah akan tetapi ketika banyak kaum lelaki maka tidak perlu lagi menyenandungkan Nasyid/Qosidah.
3.    Benarkah Negara Pancasila itu Bid’ah?

Jawab :
Pancasila secara maknawi adalah sesuai dengan Syariat Nabi Muhammad SAW, adapun yang berbeda adalah UUD 45, dan di Indonesia negaranya bukan Negara yang memakai hukum Islam walaupun mayoritas penduduknya adalah Islam sehingga disebut Daarul Islam, nah yang benar-benar Bid’ah adalah ketika mengatakan UUD 45 itu lebih bagus dari pada Al-Qur’an dan Hadits, adapun yang memakai UUD 45 dan masih mengatakan Al-Qur’an dan Hadits tetap lebih bagus itu hanya dihukum Fasiq sehingga kalau jadi Pejabat di Indonesia bisa dihukumi Fasiq sebab di dalam Al-Qur’an disebutkan barang siapa yang tidak menjalankan Syariat Allah maka ia kafir dalam ayat lain Fasiq/Dzolim, namun tidak semudah itu mengatakan seorang pejabat pemerintah adalah kafir, selama ia masih mengatakan Al-Qur’an lebih bagus maka ia masih dikatakan seorang Mukmin dan hanya sekedar masuk kriteria Fasiq/Dzolim, nah ketika seseorang mengatakan UUD 45 itu lebih baik dari Al-Qur’an dan Hadits maka bukan hanya sekedar bid’ah akan tetapi dihukumi kafir, nah masalah persatuan memang dihimbau akan tetapi yang menolak Syariat itulah yang salah dan kafir.
4.    Apakah pengertian Islam kaffah dan Islam keturunan itu?

Jawab :

Islam Kaffah adalah masuk Islam secara keseluruhan, yakni menjalankan seluruh Syariatnya mulai dari menegakkan rukun Islam, menutup aurat dan lain sebagainya, adapun Islam keturunan itu hanya istilah saja, apa salahnya menjadi keuturunan seorang yang beraga,a Islam bukankah itu baik, nah yang jadi permasalahan adalah Islamnya itu ikut-ikutan nggak mau belajar tentang Syariat Islam, Islamnya hanya sekedar tertulis di KTP, adapun Islam yang sempurna adalah menjalankan segala aspek kehidupan kita dengan berpegangan pada Syariat Islam.
5.    Apa hukumnya membuat Film para Sahabat? Dan apa hukumnya menonton Film tersebut berhubung film tersebut sudah ditayangkan?

Jawab :
Adapun memerankan seorang Tokoh yang luar biasa seperti para Sahabat Nabi dan lain sebagainya adalah bagus, ketahuilah dunia artis bukan dunia yang terlarang mutlak, boleh masuk dunia artis kalau mau membenahinya dan tentunya kembali pada Ulama’  mulai dari sekenario dan proses pembuatannya harus benar-benar tidak ada pelanggaran Syariat seperti masalah Mahrom dan lain sebagainya, dan sebelum ditayangkan harus disensor terlebih dahulu oleh Ulama’ baru boleh ditayangkan, baru film tersebut boleh dilihat.
Akan tetapi kalau perfilman yang tidak dokontrol oleh Ulama’ hanya mencari uang saja maka itulah yang tidak layak ditonton karena tidak ada control dari Ulama’, adapun permasalahannya Filmya sudah terlanjur ditayangkan maka dari pada menonton Film yang lain yang tidak-tidak lebih baik menonton Film seperti ini yaitu Film-Film yang membangun hati dan perjuangan.
Wallahu A’lam Bisshowab.
 

By : Tim Pustaka Al-Bahjah     
CP : PUSTAKA AL-BAHJAH 081 312 131 936
Sumber : Pengajian Buya Yahya di Majelis Al-Bahjah‎
Selasa tgl. 11 Ramadhan 1433 H / 31 Juli 2012

بِِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ, الَّذِيْ أَكْرَمَنَا بِشَهْرِ رَمَضَانَ, الَّذِيْ جَعَلَنَا مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ وَالْقِيَامِ, وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَفْضَلِ الصَّائِمِيْنَ وَأَحْسَنِ الْقَائِمِيْنَ. حَبِيْبِنَا وَشاَفِعِنَا وَمَوْلاَناَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ

ULASAN PENGAJIAN AT-TIBYAN BERSAMA BUYA YAHYA

PASAL
Fis Tihbabi Thalabul Qira’atit Thoyyibati Min Husnis Shouti
Disunnahkannya Meminta Bacaan Yang Indah Dari Orang Yang Suaranya Bagus

Ketahuilah sesungguhnya sekelompok dari Ulama’ generasi Salaf meminta orang yang ahli membaca Al-Qur’an dengan suara yang bagus untuk membaca dan mereka mendengarkannya, dan ini sudah menjadi kesepakatan akan kesunnahannya, ini adalah kebiasannya orang-orang yang baik, rajin ibadah dan hamba-hamba yang Sholeh dan hal ini adalah Sunnah yang sudah menjadi ketetapan dari Rasulullah SAW, disebutkan dalam hadits :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِقْرَأْ عَلَيَّ الْقُرْآنَ, فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ! أَقْرَأُ عَلَيْكَ, وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟ قَالَ : إِنِّيْ أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِيْ, فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُوْرَةَ (النِّسَاءِ) حَتَّى إِذَا جِئْتُ إِلَى هَذِهِ اْلأَيَةِ : (فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيْدًا) – النِّسَاءُ : 41- قاَلَ حَسْبُكَ اْلآنَ فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Dari Abdullah Bin Mas’ud ra beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda kepadaku “Bacakanlah Al-Qur’an kepadaku! Aku berkata : Ya Rasulallah, (bagaimana) aku membacakan Al-Qur’an kepadamu sedangkan Al-Qur’an tersebut diturunkan kepadamu?, Rasulullah SAW bersabda “Sungguh aku lebih senang mendengar Al-Qur’an dari selainku”, kemudian aku membacakannya Surat An-Nisa’ sampai pada ayat :

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيْدًا - النِّسَاءُ : 41

“Maka bagaimana ketika suatu saat nanti (di hari Qiyamat) kami datangkan saksi dari semua Umat Kemudian aku datangkan engkau sebagai saksi bagi mereka (Umatmu)”. QS. AN-Nisa’ : 41, setelah itu Rasulullah SAW bersabda “Sekarang sudah cukup”, kemudian aku menoleh kepada beliau dan aku lihat matanya berlinangan air mata. HR Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim

Yang dimaksud dengan Saksi : Yakni Nabi-Nabi mereka, dan setiap Nabi berkata “Ini Umatku maka selamatkan ya Allah”, begitu juga hal ini terjadi pada Nabi Muhammad dan ceritanya di sini sangat panjang untuk disebut, di saat Umat manusia dikumpulkan di padang Mahsyar semuanya berbondong-bondong minta pertolongan, ada yang datang ke Nabi Adam tapi beliau menolak, kemudian Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi Musa dan Nabi Isa juga menolak, akhirnya mereka semua menuju Nabi Muhammad, dan di sini ada yang namanya Syafa’at yakni pertolongan Nabi Muhammad untuk Umatnya, dan tidak semua yang mengaku Umatnya Nabi Muhammad mendapatkan Syafa’atnya, hanya yang mengenalnya dengan sesungguhnya dan mengenal dengan hatinya maka ia akan mendapatkan Syafa’atnya. Tentu yang mengenalnya dengan sesungguhnya akan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.


وَرَوَى الدَّارِمِيُّ وَغَيْرُهُ بِأَسَانِيْدَهُمْ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ لِأَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ : ذَكِّرْنَا رَبَّنَا فَيَقْرَأُ عِنْدَهُ

Imam Ad-Darimi dan yang lainnya meriwayatkan dengan sanad-sanadnya dari Sayyidina Umar Bin Al-Khoththob, sesungguhnya beliau berkata kepada Abu Musa Al-Asy’ari : “Ingatkanlah kami kepada Tuhan kami!” maka Abu Musa membacakan di sampingnya.

Adapun riwayat dari Sahabat dan Tabi’in dalam masalah ini sangat banyak dan terkenal, bahkan ada sebagian dari mereka yang meninggal disebabkan (terenyuh) mendengar bacaan orang yang telah mereka minta untuk membacakannya, Wallahu A’lam.

Sebagian Ulama’ menganjurkan di pembukaan Majelis Hadits Nabi Muhammad SAW untuk dibuka dan ditutup dengan bacaan yang ringan (sedikit) dari seorang Qori’ yang suaranya bagus, dan hendaknya seorang Qori’ membaca ayat yang pantas dan cocok dengan kajian majelis tersebut (Seperti ketika acara perayaan Isra Mi’raj membaca ayat pertama surat Al-Isra dll), dan hendaknya bacaanya tersebut berkenaan dengan hal-hal berikut ini :
1. Raja’ (hal-hal berharap pada Allah).
2. Khouf (hal-hal yang membuat takut kepada Allah).
3. Nasehat.
4. Hal-hal yang membuat orang tidak cinta dunia (Zuhud).
5. Hal-hal yang membuat rindu kepada akhirat dan mempersiakan diri untuk akhirat.
6. Hal-hal yang memperpendek angan-angan (hidup nyaman dan lama di dunia).
7. Berkenaan dengan akhlaq-akhlaq yang terpuji dan mulia.

PASAL

Hendaknya bagi orang yang memulai bacaannya atau berhenti dari pertengahan Surat tidak pada akhirnya (tanda Waqof atau ayat), maka hendaknya ia memulai dari awal ayat yang masih nyambung dengan setelahnya dan berhenti pada ayat yang berhubungan dengan ayat sebelumnya dan jangan sampai terikat dengan A’syar (pembagian Al-Qur’an pada setiap beberapa bagian dan halaman) dan juz sebab terkadang A’syar atau juz tersebut berada di pertengahan ayat yang masih mempunyai hubungan dengan ayat setelahnya seperti ayat-ayat berikut ini :


وَالْمُحْصَنَاتِ مِنَ النِّسَاءِ – النِّسَاءُ : 24
“Dan orang-orang yang terjaga dari kaum wanita”. QS. An-Nisa’ : 24

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِيْ – يُوْسُفُ : 53
“Dan Aku tidak akan membiarkan nafsuku”. QS. Yusuf : 53

فَمَا كَانَ جَوَابُ قَوْمِهِ – النَّحْلُ : 56
“Maka tiada jawaban kaumnya”. QS. An-Nahl: 56

وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْ كُنَّ لِلَّهِ وَلِرَسُوْلِهِ – اْلأَحْزَابُ : 31
“Dan barang siapa yang taat di antara mereka kepada Allah dan Rasul-Nya”. QS. Al-Ahzab : 31

وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى قَوْمِهِ مِنْ بَعْدِهِ مِنْ جُنْدٍ مِنَ السَّمَاءِ – يس : 28
“Dan kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) satu pasukanpun dari langit”. QS. Yasin : 28

إِلَيْهِ يُرَدُّ عِلْمُ السَّاعَةِ – فُصِّلَتْ : 47
“Kepada-Nyalah pengetahuan tentang Qiyamat itu dikembalikan”. QS. Fushshilat : 47

وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوْا – الزُّمَرُ : 48
“Dan telah jelas bagi mereka keburukan-keburukan yang mereka perbuat”. QS. Az-Zumar : 48

فَمَا خَطْبُكُمْ أَيُّهَا الْمُرْسَلِوْنَ – الذًَارِيَاتُ : 31
“Maka apakah urusanmu wahai para utusan?”. QS. Adz-Dzariyat: 31

Begitu juga firman Allah pada pembagian Hizib (pembagian Al-Qur’an pada setiap beberapa halaman) seperti :

وَاذْكُرُوْا اللهَ فِيْ أَيَّامِ مَعْدُوْدَاتٍ – الْبَقَرَةُ : 203
“Dan berdzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang sudah ditentukan jumlahnya”.
QS. Fushshilat : 47

قُلْ أَأُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ – آلِ عِمْرَانَ : 15
“Katakanlah (wahai Muhammad) maukah kalian aku kabarkan dengan yang lebih baik dari hal itu”. QS. Ali Imran : 15


Maka semua ayat tersebut di atas dan ayat yang menyerupainya hendaknya ketika membaca jangan dimulai atau berhenti (waqof) pada ayat-ayat tersebut sebab ayat-ayat tersebut masih ada kaitannya dengan ayat yang sebelumnya, dan jangan sampai tertipu karena banyaknya orang-orang yang lalai kepada Al-Qur’an dengan cara bacanya orang-orang yang tidak menjaga adab-adab ini dan mereka tidak pernah memikirkan tentang makna-maknanya.

Hendaknya seseorang yang membaca Al-Qur’an itu melakukan apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim yaitu Abu Abdillah dengan sanad-sanadnya dari Al-Fudhoil Bin ‘Iyadh ra beliau berkata :

لاَتَحْتَوْحِشْ طُرُقَ الْهُدَى لِقِلَّةِ أَهْلِهَا, وَلاَتَغْتَرَنَّ بِكَثْرَةِ الْهَالِكِيْنَ, وَلاَيَضُرُّ قِلَّةُ السَّالِكِيْنَ

“Janganlah engkau merasa tidak enak menuju jalan-jalan Hidayah (kebenaran) karena sedikit orang yang menempuhnya, dan jangan sampai engkau tertipu dengan banyaknya orang yang hancur (yakni orang-orang yang tidak mengindahkan kaidah tajwid dalam membaca Al-Qur’an) dan tidak akan ada pengaruhnya sama sekali karena sedikitnya orang menempuh jalan kebaikan”.

Maka dari itu Ulama’ berkata :

قِرَاءَةُ سُوْرَةٍ قَصِيْرَةٍ بِكَمَالِهَا أََفْضَلُ مِنْ قِرَاءَةِ بَعْضِ سُوْرَةٍ طَوِيْلَةٍ بِقَدْرِ الْقَصِيْرَةِ, فَإِنَّهُ قَدْ يُخْفَى اْلاِرْتِبَاطُ عَلَى بَعْضِ النَّاسِ فِيْ بَعْضِ اْلأَحْوَالِ.

“Membaca Surat yang pendek sampai selesai itu lebih utama dari pada membaca sepenggal Surat panjang yang kadar (lama/jumlah ayatnya) sama dengan Surat yang pendek, sebab terkadang makna yang masih ada kaitannya tersembunyi bagi orang yang membaca tersebut dalam beberapa keadaan”.

Ibnu Abi Daud meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah Bin Abi Al-Hudzail At-tabi’i yang masyhur ra beliau berkata :

كَانُوْا يَكْرَهُوْنَ أَنْ يَقْرَءُوْا بَعْضَ اْلأَيَةِ وَيَتْرَكُوْنَ بَعْضَهَا.
“Mereka tidak senang membaca sepenggal ayat dan meninggalkan ayat yang lain”.


PASAL
Fi Ahwalin Tukrahu Fiha Al-Qira’atu
Keadaan-keadaan Dimakruhkannya Membaca Al-Qur’an

Ketahuilah bahwasannya membaca Al-Qur’an itu sangat dicintai (yakni sangat dianjurkan) secara mutlak, kecuali dalam beberapa keadaan khusus yang memang dilarang oleh Syariat membaca di waktu tersebut, adapun yang akan kami hadirkan pada kesempatan kali ini secara ringkas dengan tidak menyebutkan dalil-dalilnya sebab hal ini sudah sangat masyhur.

Adapun membaca Al-Qur’an yang dimakruhkan adalah di beberapa keadaan berikut ini :
1. Di waktu Ruku’
2. Di waktu Sujud
3. Di waktu Tasyahhud
4. Di semua keadaan selain di waktu berdiri saat Sholat
5. Membaca Al-Qur’an selain Surat Al-Fatihah pada Sholat yang bacaannya dikeraskan bagi makmum yang masih bisa mendengar bacaan Imamnya
6. Membaca Al-Qur’an di WC, dan menjadi haram ketika membacanya bersamaan dengan keluarnya sesuatu dari jalan depan/belakang
7. Di saat mengantuk
8. Di saat Al-Qur’an tidak nampak jelas di pandangannya, (dikhawatirkan salah dalam membacanya)
9. Di saat mendengar Khutbah, berbeda dengan orang yang tidak mendengar suara Khotibnya (seperti tidak ada pengeras suara, atau pengeras suaranya mati dan lain sebagainya) bahkan ia disunnahkan untuk membaca Al-Qur’an, inilah yang dipilih dan yang benar dalam Madzhab Syafi’i, akan tetapi ada riwayat dari Imam Thowus bahwasannya membaca Al-Qur’an di waktu Khotib berkhutbah adalah makruh walaupun ia tidak mendengarnya namun menurut Ibrahim tetap tidak makruh, maka boleh juga mengumpulkan 2 pendapat ini berdasarkan apa yang kami katakan seperti yang disebutkan oleh Ulama’-Ulama’ madzhab Syafi’i.

Adapun membaca Al-Qur’an di saat berthowwaf itu tidak makruh menurut Madzhab Syafi’i dan ini juga menjadi keputusan kebanyakan Ulama’, dan Ibnu Mundzir menceritakan hal tadi dari Atho’, Mujahid, Ibnul Mubarak, Abu Tsaur dan para Ulama’ yang lebih mengedepankan pemikirannya (kebanyakan ini adalah Ulama’ madzhab Hanafi). Telah diceritakan dari Hasan Al-Bashri, Urwah Bin Az-Zubair dan Malik bahwasannya Membaca Al-Qur’an di waktu berthowwaf adalah makruh, akan tetapi yang benar adalah yang pertama yaitu tidak makruh.

Adapun hukum membaca Al-Qur’an di kamar mandi, di jalan, dan orang yang di mulutnya ada najis telah kami sebutkan penjelasan tentang perbedaan pendapat dalam hal tersebut di awal yaitu :
a. Hukum membaca Al-Qur’an di kamar mandi :
1. Ulama’ Madzhab Syafi’i mengatakan tidak makruh, di antara mereka adalah : Abu Bakar Bin Mundzir dari Ibrahim An-Nakho’i dan Malik dan sekaligus ini juga pendapatnya Atho’.
2. Imam Ali Bin Abi Tholib ra mengatakan makruh, hal ini diceritakan oleh Ibnu Abi Daud begitu juga Ibnu Al-Mudzir dari sekelompok orang dari generasi Tabi’in di antara mereka adalah : Abu Wa’il Syaqiq Ibn Salamah, Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, Makhul, Qubaishoh Bin Dzuab begitu juga riwayat dari Ibrahim An-Nakho’i dan riwayat dari Imam Abu Hanifah.
b. Hukum membaca Al-Qur’an di jalan itu boleh-boleh saja dan tidak makruh.
c. Hukum membaca Al-Qur’an ketika ada darah di mulutnya adalah Makruh, hendaknya ia menunggu terlebih dahulu sampai darahnya berhenti dan disucikan kemudian bacaannya dilanjutkan lagi.

Pelajaran Yang Bisa Kita Ambil

1. Disunnahkan meminta orang yang suaranya bagus membaca Al-Qur’an untuk dirinya, hal ini dimaksudkan agar orang yang mendengarnya itu lebih menghayati isi bacaan tersebut.

2. Ulama’ menganjurkan untuk membuka dan menutup majelis ta’lim dengan pembacaan Ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan tema yang sedang dibahas.

3. Hendaknya membaca Al-Qur’an dimulai dari kalimat yang masih berkesinambungan, dan hendaknya tidak berhenti pada kalimat yang makna atau susunananya masih belum sempurna dengan kata lain hendaknya berhenti pada kalimat yang sudah sempurna makna dan susunannya begitu juga hendaknya berhenti di tanda waqof atau pemberhentian ayat.

4. Hendaknya ketika membaca Al-Qur’an mengindahkan adab-adabnya, sebisa mungkin direnungi maknanya sehingga ketika mau berhenti bisa berhenti pada kalimat yang sudah sempurna maknanya dan jangan ikut-ikutan orang yang salah dalam hal ini.

5. Jangan malu menempuh jalan kebenaran, walaupun yang menempuhnya hanya sedikit, dan jangan tertipu pada sesuatu yang banyak dilakukan oleh orang akan tetapi hal tersebut pada kenyataannya adalah salah atau tidak baik.

6. Membaca satu Surat pendek sampai selesai itu lebih bagus dari pada membaca sepenggal Surat yang panjang walaupun dengan kadar waktu yang sama dan dengan jumlah ayat yang sama, sebab dengan membaca satu Surat sampai selesai tidak ada satupun maknanya yang tersembunyi walaupun Surat tersebut itu pendek berbeda ketika seseorang membaca hanya sepenggal Surat yang panjang namun tidak sampai selesai maka masih ada kemungkinan maksud dan tujuan serta makna ayat dari Surat tersebut belum tersingkap atau masih tersembunyi.

7. Hukum asal membaca Al-Qur’an adalah sunnah akan tetapi ada beberapa keadaan yang makruh untuk membacanya yaitu : di waktu Ruku’, Sujud, I’tidal, Tasyahhud, di waktu berdiri pada rakaat ke 3 dan ke 4, pada saat mendengar bacaan Imam pada Sholat yang bacaannya dikeraskan seperti Sholat Isya’, Sholat Magrib, Sholat Shubuh, Sholat Jum’at, Sholat ‘Id dll, kemudian di waktu duduk di WC akan tetapi akan menjadi haram ketika ada sesuatu yang keluar dari jalan depan/belakang, ketika mengantuk, ketika melihat Al-Qur’an sudah tidak jelas, begitu juga ketika ada darah di mulutnya, ketika mendengarkan Khutbah, berbeda ketika khutbahnya tidak kedengaran maka tetap disunnahkan membaca Al-Qur’an. Adapun membacanya di waktu berthowwaf adalah tidak dimakruhkan dalam Madzhab Syafi’i.
.

Forum Tanya Jawab

1. Disebutkan dalam hadits bahwasannya mengingatkan seseorang ketika Khotib sedang berkhutbah maka ia sudah termasuk Lagho sedangakan orang yang Lagho tidak mendapatkan pahala keutamaan jum’atan, nah bagaimana dengan bacaan Al-Qur’an itu sendiri ketika Khotib sedang berkhutbah apakah termasuk Lagho?

Jawab :

Di saat Khutbah Imam tidak terdengar maka dihimbau untuk berdzikir atau membaca Al-Qur’an akan tetapi jangan sampai mengangkat suaranya, nah bagi Khotib ada hal yang perlu diperhatikan yaitu :

Hendaknya seorang Khotib itu tempatnya agak tinggi sehingga suaranya terdengar oleh jama’ah jum’at, suatu saat Rasulullah berkhutbah di padang pasir beliau naik ke atas kuda Karena banyaknya jama’ah supaya tidak ada fitnah sehingga suranya terdengar jelas, kemudian adanya himbauan bagi Khotib untuk melantangkan suaranya agar jama’ah dapat mendengar khutbah yang disampaikan.

Di samping itu ada perbedaan ‘ulama ketika berbicara pada waktu khotib sedang naik mimbar, di antaranya Madzhab Abu Hanifah, Madzhab Malik, Madzhab Ahmad mereka mengatakan haram mengangkat suara ketika khotib sedang berkhutbah. Namun di dalam Madzhab Imam Syafi’i tidak haram, akan tetapi dapat menyebabkan hilangnya keutamaan pada saat khutbah jum’at. Dan dihimbau agar untuk tetap tidak berbicara yang tidak ada manfaatnya, dan ketika tidak terdengar maka sunnah baginya untuk tetap berdzikir.
Hujjah Madzhab Syafi’i adalah suatu saat Rasulullah SAW khutbah jum’at tentang dahsyatnya hari Kiamat sampai sahabat banyak yang menangis mendengarnya, kemudian ada seorang Badui berdiri dan bertanya kepada Rasulullah SAW.

Sahabat : Kapan datangnya hari kiamat yaa Rasulullah?
Rasulullah SAW : Apa yang engkau persiapkan untuk hari kiamat?
Sahabat : Aku tidak mempersiapkan apa-apa melainkan cinta kepada Allah dan rasul-Nya.
Rasulullah SAW : Engkau bersama orang yang engkau cintai.

Jadi Madzhab Syafi’i tidak menyatakan haram berbicara ketika Khotib sedang berkhutbah, sedangkan yang menyatakan haram adalah Madzhab lain, hal ini berdasarkan riwayat di atas, Rasulullah SAW bukan menegur orang yang berbicara akan tetapi malah menjawabnya hal menunjukkan tidak Haram.


2. Seorang wanita tidak boleh membaca Al-Qur’an dilagukan di muka umum, bagaimana dengan peserta MTQ?

Jawab :

Bagi Qori’ah (wanita yang mahir dan bagus bacaannya), kami harap para Qori’ah memperhatikan adab-adab membaca yang benar, jangan sampai seorang Qori’ah melantunkan ayat dengan melagukannya di hadapan lelaki Ajnabi (bukan mahromnya) dan ini tidak diperkenankan oleh Syariat. Seorang Qori’ah boleh melantunkan Ayat Al-Qur’an dengan mendayu-dayu untuk dirinya sendiri, suaminya, keluarganya dan di hadapan para wanita lainnya, yang tidak boleh adalah di hadapan lelaki yang bukan mahromnya.
Memang suara wanita bukanlah Aurat dalam Madzhab kita Imam Syafi’i, akan tetapi permasalahannya Al-Qur’an berbeda dengan sekedar ucapan, sebab Al-Qur’an wajib didengar, makanya tidak diperkenankan bagi seorang wanita membaca dengan dilagukan di hadapan laki-laki yang bukan mahrom.
Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an :

يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Wahai istri-istri nabi, kalian tidak sama dengan wanita-wanita yang lain, jika kalian bertakwa maka janganlah kalian melembutkan suara dalam berbicara sehingga timbullah keingin orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
Untuk suara yang meliuk-liukkan sampai melanggar kaidah Tajwid tetap haram bagi perempuan maupun laki-laki, bahkan yang mendengarpun juga ikut haram. Inilah yang disampaikan Imam An-Nawawi rahimahullahu ta’ala. Akan tetapi ketika seorang wanita membaca Al-Qur’an dapat menimbulkan fitnah maka itulah yang haram, karena Al-Qur’an memerintahkan bagi orang yang dibacakan Al-Qur’an untuk mendengarkan dan memperhatikannya, sehingga secara tidak langsung pendengar harus benar-benar menyimak apa-apa yang dibaca oleh seorang wanita tersebut. Kemudian Ulama’ membahas masalah wanita yang membaca Nasyid/Qosidah bersama-sama sehingga tidak keciri suaranya satu sama lain maka tidak jadi masalah, atau seperti tujuannya untuk dakwah, contoh : di suatu kampung kalau ibu-ibunya tidak membaca Nasyid/Qosidah tidak banyak yang datang akan tetapi bacanya harus bersama-sama maka itu tidak menjadi masalah akan tetapi ketika banyak kaum lelaki maka tidak perlu lagi menyenandungkan Nasyid/Qosidah.
3. Benarkah Negara Pancasila itu Bid’ah?

Jawab :
Pancasila secara maknawi adalah sesuai dengan Syariat Nabi Muhammad SAW, adapun yang berbeda adalah UUD 45, dan di Indonesia negaranya bukan Negara yang memakai hukum Islam walaupun mayoritas penduduknya adalah Islam sehingga disebut Daarul Islam, nah yang benar-benar Bid’ah adalah ketika mengatakan UUD 45 itu lebih bagus dari pada Al-Qur’an dan Hadits, adapun yang memakai UUD 45 dan masih mengatakan Al-Qur’an dan Hadits tetap lebih bagus itu hanya dihukum Fasiq sehingga kalau jadi Pejabat di Indonesia bisa dihukumi Fasiq sebab di dalam Al-Qur’an disebutkan barang siapa yang tidak menjalankan Syariat Allah maka ia kafir dalam ayat lain Fasiq/Dzolim, namun tidak semudah itu mengatakan seorang pejabat pemerintah adalah kafir, selama ia masih mengatakan Al-Qur’an lebih bagus maka ia masih dikatakan seorang Mukmin dan hanya sekedar masuk kriteria Fasiq/Dzolim, nah ketika seseorang mengatakan UUD 45 itu lebih baik dari Al-Qur’an dan Hadits maka bukan hanya sekedar bid’ah akan tetapi dihukumi kafir, nah masalah persatuan memang dihimbau akan tetapi yang menolak Syariat itulah yang salah dan kafir.
4. Apakah pengertian Islam kaffah dan Islam keturunan itu?

Jawab :

Islam Kaffah adalah masuk Islam secara keseluruhan, yakni menjalankan seluruh Syariatnya mulai dari menegakkan rukun Islam, menutup aurat dan lain sebagainya, adapun Islam keturunan itu hanya istilah saja, apa salahnya menjadi keuturunan seorang yang beraga,a Islam bukankah itu baik, nah yang jadi permasalahan adalah Islamnya itu ikut-ikutan nggak mau belajar tentang Syariat Islam, Islamnya hanya sekedar tertulis di KTP, adapun Islam yang sempurna adalah menjalankan segala aspek kehidupan kita dengan berpegangan pada Syariat Islam.
5. Apa hukumnya membuat Film para Sahabat? Dan apa hukumnya menonton Film tersebut berhubung film tersebut sudah ditayangkan?

Jawab :
Adapun memerankan seorang Tokoh yang luar biasa seperti para Sahabat Nabi dan lain sebagainya adalah bagus, ketahuilah dunia artis bukan dunia yang terlarang mutlak, boleh masuk dunia artis kalau mau membenahinya dan tentunya kembali pada Ulama’ mulai dari sekenario dan proses pembuatannya harus benar-benar tidak ada pelanggaran Syariat seperti masalah Mahrom dan lain sebagainya, dan sebelum ditayangkan harus disensor terlebih dahulu oleh Ulama’ baru boleh ditayangkan, baru film tersebut boleh dilihat.
Akan tetapi kalau perfilman yang tidak dokontrol oleh Ulama’ hanya mencari uang saja maka itulah yang tidak layak ditonton karena tidak ada control dari Ulama’, adapun permasalahannya Filmya sudah terlanjur ditayangkan maka dari pada menonton Film yang lain yang tidak-tidak lebih baik menonton Film seperti ini yaitu Film-Film yang membangun hati dan perjuangan.
Wallahu A’lam Bisshowab.


By : Tim Pustaka Al-Bahjah
CP : PUSTAKA AL-BAHJAH 081 312 131 936
Sumber : Pengajian Buya Yahya di Majelis Al-Bahjah

Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU

Tongkat “Musa”

“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.

“Setelah memberikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.

Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”

Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.

Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.

Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.

Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.

Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.

Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.

Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.

Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.

Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).

Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.

Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.

Kilas Sejarah Pendirian NU


Foto: Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU

Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU; Dukungan KH Kholil Bangkalan terhadap KH. Hasyim Asy’ari

        Artikel ini dikutip dari buletin Nahdliyah yang diterbitkan PCNU Pasuruan edisi 1 dan 2 September dan Oktober 2006. Artikel ini dimuat kembali agar generasi muda NU dan simpatisannya semakin memahami NU dan mempertebal keimanan Ahlussunnah wal Jamaahnya.

Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.

Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.

Keresahan Kiai Hasyim

Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.

Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.

Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.

Tongkat “Musa”

“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.

“Setelah memberikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.

    Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”

Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.

Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.

Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.

Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.

Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.

Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.

Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.

Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.

Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).

Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.

Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.

Bapak Spiritual

Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).

Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).

Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.

Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.

Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.

Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas:

“Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW, orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.”

Lebih tegas beliau menyatakan:

“Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah wali yang sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab dia mengatakan sir al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat kedustaan atas Allah Ta’ala.”

Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga bersikap kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar, 2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.

Wallahu a’lam.

Penulis: Moh. Syaiful Bakhri

Penulis buku “Syaikhona Cholil Bangkalan: Ulama Legendaris dari Madura” dan sekretaris Lajnah Ta’lif Wan Nasr NU Kabupaten Pasuruan. Pemuatan artikel ini juga merupakan penghormatan dan dukungan moril kepada PCNU Kab. Pasuruan yang berusaha mendorong terciptanya masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlakul karimah dengan menerbitkan buletin dua bulanan. Semoga usaha penerbitan ini bisa istiqamah.
Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU

Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU; Dukungan KH Kholil Bangkalan terhadap KH. Hasyim Asy’ari

Artikel ini dikutip dari buletin Nahdliyah yang diterbitkan PCNU Pasuruan edisi 1 dan 2 September dan Oktober 2006. Artikel ini dimuat kembali agar generasi muda NU dan simpatisannya semakin memahami NU dan mempertebal keimanan Ahlussunnah wal Jamaahnya.

Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.

Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.

Keresahan Kiai Hasyim

Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.

Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.

Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.


Dedi ponkY (wonk Cirebond). Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Di Google

Foto saya
Cirebon_Wonk waroe Djaya, Jawa barat, Indonesia
web counters Belajar Mengenal Html
<<<<Trik-Trik Blogger>>>>
Home
1.Trik Blogger
Cara bikin blog
2.Trik Blogger
Membuat judul blog berjalan
3.Trik Blogger
Huruf besar tampil di posting
3.Trik Blogger
Cara membuat menu dtree
4Trik Blogger
.Mengubah saiz lebar colom
5.Trik Blogger
Membuat link listlabel
6.Trik Blogger
membuat- effek neon box pada teks
7.Trik Blogger
Menggunakan Otomatis Scroll Image Kembali ke bagian atas halaman
8.Trik Blogger
Membuat buku tamu tersembunyi
9.Trik Blogger
Membuat menu horizontal
10.Trik Blogger
Membuat Menu Horizontal dengan drop menu horizontal
11.Trik Blogger
Membuat menu horizontal dengan variasi tab animasi
12.Trik Blogger
Membuat Galery foto
13.Trik Blogger
Membuat Daftar Isi Otomatis
14.Trik Blogger
Membuat Menu Horizontal Sederhana
15.Trik Blogger
Cara Membuat tampilan Link Exchange lebih menarik
16.Trik Blogger
Manajemen Iklan: Random Banner Pada Satu Area
17.Trik Blogger
Membuat menu kontak pada blof
18.Trik Blogger
Cara menampilkan pesan pada jam tertentu di blog
19.Trik Blogger
Cara pasang jam di blog
20.Trik Blogger
Membuat redmore
20.Trik Blogger
Membuat redmore.2
21.Trik Blogger
Membuat Kotak Search Sendiri di Blogger
22.Trik Blogger
Menghilangkan navbar blog
23.Trik Blogger
Membuat link terbuka di tab baru
24Trik Blogger
.Membuat gambar di pojok
25.Trik Blogger
Membuat kotak komentar di bahwah posting
26.Trik Blogger
Membuat footer 3 kolom
27.Trik Blogger
Cara Menghilangkan Tanggal Posting
28.Trik Blogger
Gambar Berubah Saat Terkena Kursor
29.Trik Blogger
Cara membuat menu Dtree
30.Trik Blogger
Memasang youtube di blog
31.Trik Blogger
Membuat menu horizontal
32.Trik Blogger
membuat-float image dan teks gambar
32.Trik Blogger
Mengubah Ukuran Template Blog
33.Trik Blogger
Macam-macam marquee/Tulisan berjalan
34.Trik Blogger
Free Template
35Trik BloggerMengetahui jumblah pengunjung
36.Trik Blogger
free bener


















Anda pengunjung yang ke :

Apakah blog ini bermanfa't ?

Pengikut

Web hosting for webmasters
Belajar Sejarah Islam